(This edition [Vol. 21, No. 1] was originally published with the numbering Vol. 21, No. 64: April - Agustus 2005.)

Ada saatnya tindakan menggugat diri sendiri merupakan sebuah keharusan, bahkan mungkin kearifan. Hari-hari ini ketika sistem-sistem nilai berinteraksi ketat dengan segala sistem lainnya selalu ada kemungkinan bahwa kepastian-kepastian semula berubah menjadi meragukan. Jaman ini memang ditandai dengan ketidakpastian dari demikian banyaknya kepastian yang saling bertentangan, the uncertainty of contradictory certainties, kata Ulrich Beck. Perkembangan pemikiran kritis akibat interaksi itu seperti tak terelakkan memaksa kita untuk memikirkan ulang segala hal yang pernah kita yakini.

Lantas menggugat adalah suatu proses mencari pemahaman baru yang lebih mendasar atas nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan. Itu bisa berarti mencari nilai etis yang mendasar dan sama di balik perbedaan keyakinan religius dalam rangka memahami kembali arti yang lebih realistis dari konsep "toleransi" seperti di bahas oleh Peter Kemp presiden federasi masyarakat filsafat internasional dalam artikelnya "Towards a New Tolerance". Tapi gugatan bisa juga berarti upaya menguji kekuatan pondasi sebuah sistem keyakinan. Dan ini mirip yang pernah dilakukan Sokrates dan Nietzsche, seperti dilukiskan Roy Voragen dalam tulisannya :" As if We all are free". Bahkan ritual pun, yang umumnya tampak bagai perayaan legitimasi status quo, sesungguhnya selalu berpotensi subversif berbahaya, sebab ritual adalah juga saat-saat reaktualisasi keyakinan dalam konteks baru, saat-saat penemuan baru. Tentang ini Eddy Putranto bicara panjang dalam artikelnya "Ritual : an inventive human symbolic action". Selebihnya Agus Rachmat W. menggugat kehidupan ekonomi saat ini dengan memperkarakan landasan etisnya. Disana rasionalitas instrumental belaka dianggap tak memadai, perlu ditambah rasionalitas affektif dan normatif. Itu dibahas dalam artikelnya " Landasan Etis Kegiatan Ekonomi". Dan Maman Suharman memperkarakan ihwal identitas Kultural dengan studi kasus budaya Sunda di Jawabarat dalam artikelnya " Melacak Identitas Budaya : kasus budaya Sunda", dengan mengedepankan posisi narrasi disana. Akhirnya Leo Samosir melihat sistem keyakinan religius kristiani sebagai bentuk gugatan dan tantangan itu pada dirinya sendiri. Silahkan baca artikelnya yang berjudul " Yesus, tawaran yang menggugat". Selamat menikmati. - Redaksi.

Published: 2017-08-09