Seni dan Ritual

Authors

  • Fabie Sebastian Heatubun Jurusan Filsafat, Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung

DOI:

https://doi.org/10.26593/ecf.v0i1.1993.%25p

Abstract

Tema dengan judul “Seni dan Ritual”sudah tentu menyimpan teka-teki yang enigmatik. Apa maunya dengan tiga kata tersebut. Apa hendak menyiratkan bahwa seni itu sama dengan ritual? Apa seni dan ritual itu saling membutuhkan dan saling melengkapi. Atau apakah bahwa menggelar aktifitas ritual itu bukan hanya memiliki seninya tersendiri (the art of ritual), tetapi sudah merupakan aktifitas artistik dan estetik. Yang hendak mengatakan bahwa dalam sebuah upacara ritual merupakan „Gesamkunstwerke’ suatu ramuan dari berbagai karya seni yang dikemas menjadi satu kesatuan; mulai dari seni arsitektural, suara, drama, patung, lukis atau tari. Karenanya ritual bukan aktifitas saintifik tetapi aktifitas artistik. Apakah bisa juga diartikan bahwa seni dan ritual itu karena peran pentingya sama bagi kehidupan manusia maka tak dapat dipisahkan. Atau apakah mau mengatakan bahwa seni dan ritual kini sedang mengalami nasib yang sama; keduanya sendang sekarat? Belum mati benar. Bila diumpamakan seni itu bulan dan ritual itu matahari, keduanya menciptakan kebahagiaan kepada kita sesuai dengan waktunya yang kini sedang mengalami gerhana? Ada gerhana bulan dan ada gerhana matahari. Seni tertutup ritual? Atau ritual yang tertutup seni? Terang-gelap, muncul-tenggelam telah menciptakan irama alamiah, kali ini dipahami telah terganggu. Tapi bukankah bulan mengorbit pada matahari? Bulan tergantung pada matahari? Atau berdiri sendiri? Apakah hendak membahas bahwa seni itu harus berkarakter ritual, vice versa?
Seni dan ritual bukan hanya saling melengkapi tetapi saling menukar karakter yang masing-masing memiliki keunggulannya? Ritual tanpa seni, mati. Begitu juga sebaliknya. Ritual adalah seni dan seni membutuhkan perwujudan sempurnanya pada ritual? Tanpa ritualisasi ritual, seni hanyalah aktifitas dan kreatifitas tanpa makna. Di situlah pula yang membedakan antara „craft’ dengan karya seni yang estetis. Bahkan kategori seni tinggi dan seni rendah; art dan kitsch terjadi. Upacara ritual dengan jenis ritus dan ritualisasinya menempatkan sebuah karya yang patut dihargai sebagai karya seni. Justifikasi sebuah karya seni bukan hanya dalam proses kreatif dan/atau proses penciptaanya saja, tetapi juga ada pada proses ritualisasinya. Seni selalu membutuhkan wadah. Ia membutuhkan ruang dan waktu yang tepat dan khusus untuk menciptakan maknanya yang terdalam. Seni membutuhkan „hermeneutical site‟ untuk menampilkan,
2
memancarkan dan melahirkan makna dan artinya. Seni harus ada pada suasana yang terjadi dalam ruang waktu tertentu yang menciptakan atmosfir di luar keseharian (extra quotidiana). Di situlah gedung pameran, gedung pertunjukan, ruang diskusi, dimana sang kurator, seniman, kritikus dan apresiator berkumpul dalam suatu upacara ritual. Seperti juga sebuah musium menjadi ruang sakral yang menuntut tata tertib dan etiketnya sendiri ketika berada di sana dengan tujuan utamanya mengapresiasi. Tentu saja ketika wadah ritual itu jatuh keada praktek ritualisme dan formalisme akan membunuh hakekat seni dan ritual itu sendiri. Seni dan ritual yang bermaksud untuk mentransendensi ruang dan waktu yang banal, bisa jatuh ke dalam rutinitas yang baru.

Downloads

Published

2016-05-30

Issue

Section

Articles