Klaster Industri Budaya sebagai Dasar Manuver Politik Korea Selatan

Authors

  • Asinauli Tamba Diponegoro University

DOI:

https://doi.org/10.26593/sentris.v2i2.5003.192-213

Abstract

Pada Juli tahun 2016, Korea Selatan bersepakat dengan aliansi militernya, Amerika Serikat untuk memasang Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) di wilayahnya. Adapun kepentingan Amerika Serikat adalah untuk menyebarkan pengaruh dan menjaga stabilitas kawasan Asia Timur. Sementara, kepentingan Korea Selatan adalah untuk melindungi negaranya dari praktik uji coba nuklir Korea Utara di Semenanjung Korea. Namun pemasangan THAAD ditolak oleh Tiongkok yang menganggap instrumen itu memicu ketegangan di kawasan dan menghambat dominasinya. Dalam menunjukkan ketidaksetujuannya pada kerjasama pertahanan anti-misil THAAD antara Korea Selatan dan Amerika Serikat, Tiongkok memberikan sanksi ekonomi berupa boikot khususnya pada produk-produk industri kebudayaan milik Korea Selatan. Pada Oktober 2017, Korea Selatan menyetujui permintaan Tiongkok untuk mengubah kebijakan THAAD melalui poin-poin yang tercantum dalam Three NOs. Perubahan yang drastis dan signifikan pada politik luar negeri Korea Selatan menjadi hal yang dipertanyakan dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan teori neorealisme sebagai logika berpikir dan mengemukakan bahwa hallyu atau industri kebudayaan sebagai alasan utama manuver politik yang dipilih Korea Selatan sebagimana boikot Tiongkok sebagai pangsa pasar utama hallyu telah melumpuhkan perekonomian Korea Selatan. Korea Selatan memilih strategi bandwagoning ditengah ancaman demi dapat mempertahankan produksi dan persebaran produk-produk kebudayaan yang tengah menjadi sumber devisa utama nagi negara. Adapun penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data yang berupa studi kepustakaan.


Kata Kunci: Korea Selatan, Tiongkok, Amerika Serikat, THAAD, Boikot, Industri Budaya, Hallyu.

Published

2021-11-11