KAJIAN HERMENEUTIS TERHADAP MAKNA KEYAKINAN HAKIM DAN PERANANNYA UNTUK PUTUSAN (VONIS) PIDANA
Abstract
Keyakinan hakim dalam hukum pidana Indonesia menjadi suatu prasyarat bagi putusan (vonis) pidana. Bahwa hakim tidak boleh memutus suatu perkara dengan semata-mata menyandarkan diri pada pembuktian materil suatu fakta atau keadaan objektif yang terjadi pada suatu kasus, tapi hakim harus menyusun dan menyertakan keyakinannya bahwa terdakwalah yang benar-benar bersalah dan layak dijatuhi hukuman pidana. Namun, prasyarat keyakinan hakim bagi suatu putusan (vonis) pidana ini tentunya tidak boleh dimaknai sebatas prasyarat formal putusan. Bahwa pada saat seorang hakim tidak benar-benar menghadirkan dirinya melalui keyakinannya dalam menjatuhkan putusan (vonis) pidana, maka pada saat itulah dia bersikap arogan dan melupakan dirinya sebagai seorang hakim.Ironisnya, seorang hakim seringkali menonjolkan keyakinannya sebagai senjata pamungkas untuk memberikan penjelasan tentang apa yang diputuskannya, meskipun sebenarnya seorang hakim justru sebetulnya tengah menyakinkan dirinya akan persoalan yang tengah dihadapinya. Banyak hakim gagal menghadirkan diri melalui keyakinannya, sehingga tidak jarang putusannya menimbulkan kerugian yang luar biasa besar bagi berbagai pihak. Sebagai professional, mereka (para hakim) umumnya hanya merasa cukup dengan memberikan argumentasi bahwa kesalahan yang mereka lakukan bukan merupakan kesengajaan tetapi sesuatu yang di luar kemampuan yang dapat terjadi kapan dan dimana pun, sebuah pandangan yang melazimkan kesalahan (human error). Pertimbangan yang dibuat dan ditetapkan hakim sangat mungkin keliru sekalipun telah dilakukan dengan jujur, hati-hati, dan penuh respek, namun lebih dari sekedar pernyataan maklum, permasalahan yang sering terjadi lebih banyak muncul sebagai bentuk dari “distorsi komunikasi”.
Keseluruhan tugas dan tanggung jawab hakim dalam memeriksa dan memutus suatu kasus ialah melakukan serangkaian kegiatan interpretatif. Lensa tafsir hakim dalam keseluruhan tugas interpretatifnya memeriksa dan memutus sutu perkara ialah bahasa. Dengan demikian maka bahasa memiliki peranan yang sangat penting bagi proses mental terbentuknya keyakinan dalam diri hakim terhadap kasus yang tengah diperiksa dan hendak diputus olehnya. Berbagai ruang penghayatan hakim dalam tugasnya memeriksa dan memutus perkara ada dalam ruang bahasa. Bahwa dengan media bahasa lah seorang hakim mampu memaknai dan mengalami keyakinannya. Pendekatan hermeneutika mencoba membuka kesadaran kita terhadap berbagai hal yang jarang disadari hakim ketika menghadapi hamparan teks pada saat memeriksa dan hendak memutus suatu kasus. Hermeneutika menyoroti secara kritis bagaimana proses terbentuknya pemahaman Hakim dengan menuntun kita menyadari lebih luas peta pemahaman secara jujur dalam berbagai faktor yang mempengaruhi proses terbentuknya. Hermeneutika dengan rendah hati membantu kita memaknai dan menempatkan secara bijak berbagai dogmatika penafsiran dalam ilmu hukum.