Humor dan Homo Ridens

Penulis

  • Fabianus Heatubun Jurusan Filsafat, Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung

DOI:

https://doi.org/10.26593/ecf.v0i2.2004.%25p

Abstrak

Tahun 2014 ini ditandai dengan meninggalnya sejumlah komedian atau pelawak yang kesohor di tingkat internasional dan juga nasional. 13 Agustus 2014 Robin Williams mati bunuh diri cukup mengejutkan dunia tontonan. 4 September 2014 Joan Rivers meninggal meski dalam usia tua, namun menjadi pembahasan di mana mana, terutama kontroversi tentang dia yang pro dengan Israel tinimbang prihatin terhadap kemanusiaan di Palestina. 6 Maret 2014 pelawak senior Djodjon dari Jayakarta Group meninggal yang disusul oleh Mamiek Prakoso pada 3 Agustus 2014 sang pelawak Srimulat dengan ciri khas rambut bercat putih-hitam meninggal secara tiba-tiba. Kematian para pelawak ini bisa dianggap normal saja. Akan menjadi peristiwa yang istimewa dan penting ketika vokasi mereka sebagai komedian atau pelawak kita perkarakan. Bahwa ada profesi hidup sebagai pelawak dan profesi tersebut amat dibutuhkan oleh pemirsa di manapun. Jadwal acara TV akan terasa cemplang bila tidak disisipi tayangan yang bertema komedi. Masyarakat butuh tertawa. Entah untuk mentertawakan kekonyolan orang lain (para pelawak) atau mentertawakan diri sendiri ketika tontonan adalah proyeksi jiwa sang penonton. Pertanyaan yang sifatnya pragmatis, utilitaristik dan ekonomis mungkin lebih mudah untuk dijawab. Mengapa pelawak itu memilih profesi sebagai pelawak, karena pasar membutuhkannya. Namun bila petanyaan bergeser sedikit ke wilayah ontologis, barulah mengalami kesulitan untuk menjawab. Sulit karena memang tidak pernah, paling tidak jarang, untuk diperkarakan. Selain mengapa mesti diperkarakan. Namun sebagai „tracker‟ intelektual yang gemar menelusuri lorong-lorong gelap dan nyaris jarang ada orang yang melewatinya, kadang merasa asyik juga menjelajahinya

##submission.downloads##

Diterbitkan

2016-05-30

Terbitan

Bagian

Articles