Insight - Teater dan Teknologi Metafor

Main Article Content

Fathul A. Husein

Abstract

”Teater yang gagah dalam kemiskinan”, itulah teknologi berpikir dalam taraf metafor tingkat tinggi dari WS. Rendra, sang guru; kendati cuma sesobek kain, selonjor bambu, atau sebongkah batu kali, dengan tubuh-tubuh telanjang di atas pentas karena ketiadaan materi, namun seluruh makna dunia terserap di dalamnya. Begitu pun Jerzy Grotowski dengan wejangan ’Teater Melarat’-nya (Poor Theatre) yang lebih mengedepankan ’teknologi tubuh’ untuk menciptakan daya cekam pentas, juga dalam ”Teater Keberingasan” (Theatre of Cruelty) Antonin Artaud, yang tergila-gila kepada spiritualitas Bali itu, di mana tubuh adalah jiwa, bukan materi. Itulah alam kita, dunia kita, yang tak mungkin bisa mengejar teknologi modern Barat yang canggih dan mahal, yang hanya menjadikan kita sebagai budak-budaknya (dalam banyak hal teater kita pun cenderung menjadi budak teater Barat). Semakin kita berupaya mengejar, semakin kecanggihan mereka melesat jauh meninggalkan kita. Apa yang kita anggap pencapaian tercanggih hari ini tidak lain adalah masa lalu mereka sekian dekade yang telah lewat. Lagi apa perlunya mengejar mereka. Alam pikir dan khayal kita berbeda dengan mereka.

Article Details

Section
Articles