Relevansi “Semangat” Birokrasi Lokal Tradisional Dalam Merevitalisasi Birokrasi Lokal Modern Indonesia Di Era Otonomi Daerah: Kasus Birokrasi Dalam Masyarakat Tradisional Batak Toba Di Sumatera Utara
Abstract
Sejarah Negara Indonesia membuktikan bahwa universalitas birokrasi yang dirancang secara sentralistik kurang, mampu mengaspirasi kepentingan lokal, sehingga menjadi kurang efektif. Dalam era desentralisasi ini, efektifitas birokrasi lokal modern sangat ditentukan oleh sejauh mana birokrasi tersebut mampu mengapresiasi dan mengadopsi unsur-unsur positif birokrasi tradisional lokal yang sesuai dengan budaya masyarakat setempat. Paper ini merupakan hasil penelitian yang mencoba menggali nilai-nilai birokrasi tradisional “Sisingamangaraja” dalam masyarakat Batak Toba.
Ada dua akar ideologi masyarakat Batak Toba, pertama, ideologi Agama (Hindu) dimana harmoni tercipta melalui tiga dimensi makrokosmos yaitu banoa ginjang (dunia atas), banoa tonga (dunia tengah) dan banoa toru (dunia bawah). Masing-masing dunia dikuasai seorang dewata yang merepresentasi sifat-sifat kebaikan tertentu yang dibutuhkan dalam menjaga keseimbangan dan kelestarian kehidupan. Ideologi kedua adalah kekerabatan, yaitu marga dan etnisitas yang bersifat komunal yang terpola dalam Dalihan Nan Tolu (Tungku nan Tiga). Setiap tungku mencerminkan posisi atau unsur yang harus ada dalam setiap kegiatan. Setiap individu yang sudah menikah melekat dalam ketiga posisi tersebut.
Implikasi kedua ideologi di atas dalam masyarakat Batak Toba, melandasi hubungan antara Raja (pemimpin) dan Rakyat, rakyat dengan rakyat dengan kewajiban sesuai dengan posisinya. Raja merupakan pemimpin karismatik dan sekaligus pemimpin tradisional. Sebagai pemimpin karismatik, raja dianggap jelmaan dari dewata yang harus mempunyai sifat-sifat kebaikan dewa serta memiliki kekuatan magis. Sebagai pemimpin tradisional raja mempunyai legitimasi yang tinggi karena dipilih oleh rakyat sehingga harus mampu memenuhi tujuan kolektif (sesuai keinginan rakyat). Kepatuhan rakyat pada pemimpinnya (raja) ditentukan oleh kedua sifat kepemimpinan tersebut. Hubungan rakyat dan rakyat (sosial) didasarkan pada ketiga tungku yang bersifat seimbang dan totalitas. Setiap unsur dituntut menjalankan fungsinya sehingga tercipta tertib sosial dalam masyarakat.
Sistem ideologi agama dan kekerabatan tersebut menciptakan birokrasi pemerintahan dan masyarakat yang demokratis berdasarkan keseimbangan fungsi sosial dan kedudukan masing-masing. Legitimasi pemimpin ditentukan oleh sejauh mana ia mampu menjalankan fungsinya. Dalam hubungan vertikal (rakyat dan pemimpin) dan hubungan lateral (masyarakat) diterapkan budaya konsultatif dalam pengambilan keputusan khususnya keputusan yang menyangkut publik, seperti pemilihan raja. Budaya-budaya di atas merupakan nilai-nilai positif yang bisa diadopsi dalam sistem pemerintahan lokal pada masa kini, untuk mendapatkan legitimasi dan dukungan tinggi, sehingga berjalan efektif dan efisien.
Sejarah Negara Indonesia membuktikan bahwa universalitas birokrasi yang dirancang secara sentralistik kurang, mampu mengaspirasi kepentingan lokal, sehingga menjadi kurang efektif. Dalam era desentralisasi ini, efektifitas birokrasi lokal modern sangat ditentukan oleh sejauh mana birokrasi tersebut mampu mengapresiasi dan mengadopsi unsur-unsur positif birokrasi tradisional lokal yang sesuai dengan budaya masyarakat setempat. Paper ini merupakan hasil penelitian yang mencoba menggali nilai-nilai birokrasi tradisional “Sisingamangaraja” dalam masyarakat Batak Toba.
Ada dua akar ideologi masyarakat Batak Toba, pertama, ideologi Agama (Hindu) dimana harmoni tercipta melalui tiga dimensi makrokosmos yaitu banoa ginjang (dunia atas), banoa tonga (dunia tengah) dan banoa toru (dunia bawah). Masing-masing dunia dikuasai seorang dewata yang merepresentasi sifat-sifat kebaikan tertentu yang dibutuhkan dalam menjaga keseimbangan dan kelestarian kehidupan. Ideologi kedua adalah kekerabatan, yaitu marga dan etnisitas yang bersifat komunal yang terpola dalam Dalihan Nan Tolu (Tungku nan Tiga). Setiap tungku mencerminkan posisi atau unsur yang harus ada dalam setiap kegiatan. Setiap individu yang sudah menikah melekat dalam ketiga posisi tersebut.
Implikasi kedua ideologi di atas dalam masyarakat Batak Toba, melandasi hubungan antara Raja (pemimpin) dan Rakyat, rakyat dengan rakyat dengan kewajiban sesuai dengan posisinya. Raja merupakan pemimpin karismatik dan sekaligus pemimpin tradisional. Sebagai pemimpin karismatik, raja dianggap jelmaan dari dewata yang harus mempunyai sifat-sifat kebaikan dewa serta memiliki kekuatan magis. Sebagai pemimpin tradisional raja mempunyai legitimasi yang tinggi karena dipilih oleh rakyat sehingga harus mampu memenuhi tujuan kolektif (sesuai keinginan rakyat). Kepatuhan rakyat pada pemimpinnya (raja) ditentukan oleh kedua sifat kepemimpinan tersebut. Hubungan rakyat dan rakyat (sosial) didasarkan pada ketiga tungku yang bersifat seimbang dan totalitas. Setiap unsur dituntut menjalankan fungsinya sehingga tercipta tertib sosial dalam masyarakat.
Sistem ideologi agama dan kekerabatan tersebut menciptakan birokrasi pemerintahan dan masyarakat yang demokratis berdasarkan keseimbangan fungsi sosial dan kedudukan masing-masing. Legitimasi pemimpin ditentukan oleh sejauh mana ia mampu menjalankan fungsinya. Dalam hubungan vertikal (rakyat dan pemimpin) dan hubungan lateral (masyarakat) diterapkan budaya konsultatif dalam pengambilan keputusan khususnya keputusan yang menyangkut publik, seperti pemilihan raja. Budaya-budaya di atas merupakan nilai-nilai positif yang bisa diadopsi dalam sistem pemerintahan lokal pada masa kini, untuk mendapatkan legitimasi dan dukungan tinggi, sehingga berjalan efektif dan efisien.