Editorial:

Melintas kini berubah wajah dan beberapa hal dalam struktur bagian dalamnya, semata-mata dalam rangka menyesuaikan diri dengan perkembangan mutakhirnya, yang penyebaran maupun para kontributornya ternyata semakin menuju skala internasional. Namun  jurnal ini tetaplah bersifat dwi-bahasa, berhubung  kepentingan awal untuk menampung pemikiran-pemikiran lokal juga  tetap kami pertahankan.

Kali ini Melintas menyuguhkan berbagai artikel yang umumnya memperbincangkan ihwal bagaimana kini religi dan transendensi umumnya mesti dipahami dalam kecamuk situasi mutakhir dengan segala persoalannya. Teolog kondang Robert Schreiter kami ketengahkan dengan artikelnya "A New Modernity : Living and Believing in an unstable world" oleh sebab ia mampu memperlihatkan konteks problematis mutakhir yang dihadapi Gereja Katolik khususnya, dan agama umumnya, secara menyeluruh dan mendalam. Sementara Chioma Opara, pemikir feminis Nigeria, menyumbangkan artikel yang menarik pula perkara kekhasan pengertian "transendensi" dalam konteks dunia perempuan Afrika saat ini. Artikelnya yang bertajuk "On the African concept of Transcendence: conflating nature, nurture and creativity" adalah upaya menawarkan sudut pandang lain untuk memahami keterkaitan antara bumi, perempuan dan transendensi. Sedang Bambang Sugiharto , lewat artikel "Religion, Culture and Identity  Revisited" mencoba menyingkapkan berbagai titik lemah dari anggapan-anggapan konvensional yang  sering terlalu cepat mengidentikan religi, kebudayaan dan identitas. Lantas Eddy Kristiyanto mengakhiri tema religi ini lewat artikel "Absolutisme Negara dan Lembaga Agama: Pasca Aufklärung di Eropa Barat" yang mengaji ulang hubungan antara Gereja dan Negara sekitar abad  pasca Pencerahan. Suatu inspirasi yang bisa berguna bagi Indonesia yang kini persis sedang diharu-biru oleh tegangan serius antara kepentingan agama dan kepentingan negara.  

Selebihnya adalah suguhan lebih ringan  namun menarik juga. Tulisan Budiono Kusumohamidjojo yang bertajuk "Dialog imajiner dengan Hans Kelsen tentang keadilan", adalah diskusi segar  ihwal keadilan, tema yang hingga kini tetaplah merupakan kata kunci di balik segala kemelut hari ini (dari soal BBM hingga terrorisme). Dan akhirnya seniman kondang Putu Wijaya, dalam rubrik baru "Insight", lewat tulisan "Menakar Bawahsadar Kolektif Manusia Indonesia" mengajak kita mengintip tendensi-tendensi bawah-sadar kita sendiri yang kerap tersembunyi dan mengangkatnya sebagai kecerdasan lokal yang bisa sangat produktif untuk menyikapi persoalan jaman. Selamat membaca.

Redaksi

Published: 2014-07-22