Vol. 10 No. 1 (2024): Veritas et Justitia
Catatan Redaksi
Dunia hukum Indonesia mengalami banyak guncangan di tahun Pemilu ini. Persoalan perennial antara bagaimana seharusnya hukum positif terkoneksi dengan moral kembali berada di tengah kancah perbincangan tentang hukum. Apakah yang ditafsir diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan sekaligus dapat dianggapi patut-pantas atau baik? Lantas apakah ke dalam pengertian baik juga tercakup efisiensi? Maka tujuan hukum terutama adalah memungkinkan pejabat atau pemerintah daerah bekerja secara efisien-efektif, dengan memberi kewenangan untuk menarik pajak atau mengambil alih saham perusahaan pertambangan, sembari tetap menjaga keamanan dan ketertiban. Sekalipun demikian, dapat terus diperdebatkan apakah tujuan hukum hanya itu atau kembali kita merujuk, tanpa betul paham makna dan konsekuensinya, pada formula tujuan hukum adalah kepastian-keadilan dan kebertujuan (seringkali diterjemahkan keliru sebagai kemanfaatan) dari Radruch.
Kesemua sumbangan tulisan yang ada menuliskan secara seragam bahwa metode penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif. Namun pesan utama yang disampaikan melampaui sekadar telaahan aturan-aturan tertulis apa yang harus dirujuk untuk menemukan hukum. Di balik dan melampaui telaahan hukum atas ragam persoalan terasa adanya kegamangan menjawab persoalan bagaimana mengelola dan memilih jalan terbaik menghadapi tantangan perubahan zaman.
Pada tataran mikro kita temukan perbincangan tentang bentuk kemitraan usaha yang dimungkinkan aplikasi Gojek. Bentuk ideal kerjasama yang justru memunculkan persoalan bagaimana melindungi mitra sebagai pekerja dan siapakah yang kemudian menjadi majikan. Juga menjadi sorotan adalah kegagalan Koperasi Simpan Pinjam untuk mengelola usaha secara berkelanjutan. Apakah di sini hukum secara umum atau pengadilan niaga yang diperluas kewenangannya secara khusus dapat memberikan solusi bagi persoalan-persoalan ekonomi? Persoalan seperti digambarkan di atas memaksa kita menerima keniscayaan pendekatan yang tidak melulu hukum tetapi juga melibatkan pendekatan keilmuan lain, misalnya seperti disebut di atas yaitu bidang ekonomi. Begitu juga ketika yang dipersoalkan adalah batas-batas kewenangan atau kepantasan tindakan presiden untuk mengangkat hakim Mahkamah Konstitusi. Seberapa jauhkah bentuk campur tangan eksekutif tersebut pada penyelenggaraan kekuasaan yudisiil atau kewenangan Presiden untuk menafsir konstitusi berpengaruh terhadap perimbangan kekuasaan politik (balance of power) dan penjagaan demokrasi Indonesia? Tanpa pemahaman akan keterkaitan demokrasi pada perlu adanya perimbangan kekuasaan di dalam negeri, maka kajian hukum hanya akan berhenti pada ulasan pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan.
Pembahasan berbeda adalah tentang ancaman yang datang perkembangan teknologi informasi yang tidak mungkin sepenuhnya dikendalikan negara berdaulat sendiri. Lagipula penggunaan digital platform dalam ragam bidang usaha menciptakan ekosistem bisnis yang berbeda, di mana aturan internal bisa jadi lebih besar pengaruhnya dari aturan eksternal yang dibuat negara. Juga ancaman yang muncul dalam ekosistem ini akan memaksa negara dan masyarakat internasional merespons, salah satunya dengan mengembangkan perlindungan atas data biometrik. Tetapi lebih sering tanggapan yang ada justru terkesan gagap dan gamang, sehingga perlu kajian mendalam mengenai kesesuaian hukum yang ada dengan permasalahan di lapangan.
Selamat membaca