Vol. 8 No. 2 (2022): Veritas et Justitia
Catatan Redaksi
R-KUHP setelah sekian lama tertunda, akhirnya disahkan. Pemerintah dan DPR bersikukuh tidak ada yang salah dengan teks sebagaimana dirumuskan sebagai deretan bab dan pasal. Dikatakan tentang sejumlah pasal-pasal kontroversial di dalamnya bahwa itu semua dilakukan dengan mengakomodasi berbagai kepentingan politik berbeda. Sementara itu tidak semua elemen masyarakat menyambutnya dengan gembira. Mereka yang berkeberatan menyoroti sebenarnya perilaku dari penegak hukum dan pemerintah dan bagaimana ketentuan-ketentuan Pasal dalam KUHPidana baru akan dapat membenarkan perilaku buruk penegak hukum ketika mengurangi-merampas-meniadakan hak-hak warga negara atas nama peraturan perundang-undangan. Bagaimanapun juga apa yang tampak adalah cara membaca peraturan secara berbeda. Pemerintah melihat teks (KUHP baru) sebagai suatu capaian. Sementara masyarakat membaca teks dalam konteks berbeda. Dikaitkan dengan kecenderungan dan pola kebijakan pemerintah, teks dibaca sebagai ancaman pembenaran penindasan.
Cara membaca teks terlepas dari konteks – hanya rumusan peraturan berdiri sendiri - dan text dalam konteks mewarnai pula tulisan-tulisan yang terkolase dalam terbitan jurnal Veritas et Justitia sekarang ini. Salah satu konteks terpenting adalah perubahan dunia yang semakin cepat. Kebutuhan sebagian masyarakat akan jasa digital banking, dunia virtual dan avatar sebagai personae baru, perlindungan konsumen pangan hasil rekayasa genetik dan seterusnya menunjukkan pula bahwa teks hukum lama (tertulis dari negara) dengan cepat kehilangan kontekstualitasnya.
Apakah semua ini tidak mendorong kita untuk mencari cara membuat hukum yang berbeda? Hukum yang dapat dengan cepat mengikuti perubahan arus zaman? Maka apa sebaliknya kita sekaligus harus menata ulang pemahaman kita akan peran negara dan pemerintah: apakah masih governing atau hanya sekadar governance. Apakah pendekatan kodifikasi – yang dipertahankan pembuat KUHP Indonesia - masih dapat diandalkan ataukah, demi good governance dan pemajuan kepentigan ekonomi, pendekatan terbaik adalah omnibus? Ataukah pendekatan fragmentaris-sektoral dan pragmatis yang selama ini sebenarnya digunakan pemerintah dan pembuat undang-undang sudah tepat? Pertanyaan lain di tengah ancaman perang dan bencana alam adalah seberapa jauh hukum dapat mengakomodasi kepentingan lingkungan atau tetap mendahulukan kepentingan manusia? Kita kerapkali masih cenderung menyamakan begitu saja hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) dengan regulasi maupun kebijakan (policy).
Ditengarai pula, bahkan di Indonesia, kecenderungan negara-pemerintah mencoba menarik kembali kekuasaan yang lenyap. Itu dilakukan berhadapan dengan berkembangnya keberagaman hukum masyarakat di luar jangkauan hukum negara. Satu tulisan menyoroti kemungkinan penggunaan pernyataan negara dalam keadaan bahaya (termasuk ketika menghadapi dunia yang terlalu cepat berubah) dengan pernyataan sepihak (dekrit). Ketidaksabaran dan ketidakmampuan penguasa menghadapi perdebatan panjang tidak berujung dalam demokrasi di masa lalu adalah penyebab munculnya dekrit ini. Pengembangan kehidupan demokratis tertunda, dan kembali kita berada di posisi seolah hanya negara yang menjadi penyedia aturan yang otoritatif.
Kumpulan tulisan yang ada pada akhirnya menyoal dan mencari jawaban, justru atas persoalan yang tersembunyi di balik cerita yang dikisahkan.
Selamat membaca
Articles
-
THE INDIVIDUAL AND THE PROPERTY IN VIRTUAL WORLDS
Abstract View: 562 -
PENGARUH DEKRIT PRESIDEN TERHADAP DEMOKRATISASI DI INDONESIA
Abstract View: 862 -
TIGA FASE NISBAH HUKUM GEREJA DENGAN HUKUM SIPIL
Abstract View: 360 -
AKIBAT HUKUM AKUISISI PERUSAHAAN TERHADAP LISENSI MEREK
Abstract View: 426 -
PERLINDUNGAN KONSUMEN PANGAN REKAYASA GENETIKA: RASIONALITAS DAN PROSPEK
Abstract View: 506