Vol 2 No 1 (2016)

					Lihat Vol 2 No 1 (2016)

CATATAN REDAKSI

Tema besar dan perennial dari persoalan pengembangan hukum juga di Indonesia adalah tentang tujuan dari hukum.  Untuk tujuan apakah hukum yang harus dimaknai lebih dari sekadar peraturan tertulis buatan negara dibuat dan lebih lagi dipatuhi?  Budiono Kusumohamidjojo menempatkan perdebatan tentang tujuan hukum dalam tegangan antara pencapaian ketertiban yang adil dengan ketidakadilan.  Perlu dicamkan bahwa di sini tidak dipersoalkan pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan.  Menurut Budiono bukan itu soalnya.  Kepastian hukum bukanlah tujuan dalam dirinya sendiri. Apa yang lebih penting adalah penciptaan ketertiban melalui pendayagunaan hukum.  Masyarakat di manapun juga sudah pasti memerlukan ketertiban. Tanpa adanya ketertiban yang diindikasikan, antara lain, dengan adanya peraturan yang jelas dan upaya pengimplementasian dan penegakan yang kurang lebih “predictable” tidak mungkin menyelenggarakan kehidupan bersama.  Namun apakah ketertiban   dalam masyarakat sekaligus mengindikasikan kehidupan hukum yang berkeadilan?

Ketidakadilan bukanlah semata-mata soal perasaan. Sekalipun  bagi banyak orang lebih mudah membayangkan ketidakadilan sebagai sesuatu yang dialami dan karena itu langsung dirasakan. Maka itu kita kerap berbicara tentang keadilan atau ketidakadilan sebagai rasa.  Namun apakah ada ukuran atau parameter baku (obyektif-netral) untuk menetapkan suatu situasi konkrit dalam masyarakat sebagai tidak adil sekalipun peraturan terkait dibuat dan diterapkan demi ketertiban? Ketidakadilan jelas dapat bersumber dari peraturan yang dibuat, bahkan dilaksanakan sepenuhnya dengan segala itikad baik.  Persoalannya adalah bagaimana mungkin kita dapat menunjukkan adanya ketidakadilan dan membereskannya bila itu semua hanya dianggap soal perasaan yang kerap dianggap subyektif dan temporer.  Apa yang pasti ialah bahwa ketidakadilan yang muncul dari dan dalam peraturan maupun pelaksanaannya dapat dimunculkan sebagai fakta yang dapat dinalar dan (sudah sepatutnya) dijadikan kajian ilmu hukum.

Beberapa sumbangan tulisan dalam Volume 2 Nomor 1 Veritas et Justitia dengan jelas menunjukkan hal ini.  Pemerintah (pusat apalagi daerah yang lebih dekat dengan masyarakat) sudah sepatutnya mewakili dan memperjuangkan kepentingan umum baik dalam pembuatan peraturan maupun ketika harus mengimplementasikannya ke dalam tindakan nyata. Ketidakadilan yang muncul dalam peraturan maupun implementasi peraturan inilah yang disasar oleh dua penulis.  Satu bercerita tentang peran Pemda Kota Padang dalam melindungi anak yang tereksploitasi secara ekonomi, sedangkan lainnya mengisahkan ketidakadilan yang mungkin tersembunyi di balik kehendak membatasi hak tenaga kerja di tempat kerja yang sama untuk menikah. 

Sebagaimana ditunjukkan oleh tulisan-tulisan lainnya, di samping itu ketidakadilan (yang dapat bersifat sangat personal atau justru structural-sistematis) juga kerapkali dan terutama dirasakan di lapangan kegiatan ekonomi.  Upaya mengatur (menertibkan kehidupan) kegiatan ekonomi secara umum (di bidang hukum perikatan) atau di dalam bidang-bidang khusus dan teknis seperti perbankan, jasa keuangan bahkan kepemilikan hak cipta, akan seketika bersentuhan dengan pertanyaan apakah sekaligus itu berkeadilan?  Kelompok manakah yang akan diuntungkan atau sebaliknya dipinggirkan dalam keseluruhan ikhtiar menata kehidupan ekonomi?  Banyak yang meyakini bahwa penertiban kehidupan ekonomi harus dilakukan dengan memungkinkan persaingan (yang sebenarnya tidak terlalu bebas) antar pelaku ekonomi.  Terpikirkan di sini mekanisme perizinan dan regulasi ekonomi yang kerap pula bersifat imperatif.  Bagaimanakah hukum yang sekarang ini cenderung bersifat transnasional dapat memunculkan ketertiban yang berkeadilan dalam kegiatan perekonomian negara di tingkat lokal maupun regional?  Pertanyaan-pertanyaan besar seperti inilah yang ditelaah penulis-penulis lainnya dalam edisi ini. 

Rangkaian tulisan dalam edisi Veritas et Justitia yang disajikan editor ke hadapan pembaca memang dimaksudkan untuk membangkitkan pertanyaan lebih lanjut yang memaksa kita terus berpikir bagaimana membangun hukum sebagai satu sarana untuk mencapai ketertiban yang berkeadilan.

Redaksi

 

Diterbitkan: 2016-06-21