Vol. 7 No. 1 (2021): Veritas et Justitia

					View Vol. 7 No. 1 (2021): Veritas et Justitia

Catatan Redaksi

Sampai pertengahan 2021, kebanyakan dari kita, termasuk dunia akademik, belum selesai dan sepenuhnya beradaptasi pada situasi kenormalan baru. Pandemi (COVID 19) dan sekarang ini juga ditambah sekian banyak bencana alam yang berkelanjutan melanda Indonesia masih menjadi potret keseharian kita. Sejatinya, ketidakpastian dan volatilitas yang muncul akan terus membayangi urusan penyelenggaraan negara dan penegakan hukum di Indonesia. Tentu di ujung cakrawala muncul cercah asa.  Negara kita sekalipun dengan ekonomi morat-marit tidak sertamerta mengalami kelumpuhan seperti yang terjadi pada Krisis Moneter-Ekonomi 1997-99, ekonomi setidaknya dalam bentuk dan skala berbeda masih terus menggeliat, vaksinasi massal sudah mulai dilakukan dan ada peluang untuk kembali melakukan kegiatan sekolah-kantor-usaha di luar jaringan.  Sekalipun demikian, itu saja tidak berarti bahwa kita sepenuhnya akan kembali mengalami-menikmati situasi pre-Pandemi.

Di balik itu semua juga dapat dicermati adanya satu hal yang berlangsung konstan dengan atau tanpa Pandemi: adanya kebutuhan untuk terus pengembangan pemikiran hukum, satu dan lain, karena terus muncul konflik-sengketa ataupun persoalan-persoalan hukum lain dalam bentuk lama ataupun baru seperti urusan cost recovery di bidang pajak usaha pertambangan atau pemaduserasian sistem elektronik dengan pasar bursa-efek. Di samping itu apa yang dapat dicermati dari kumpulan tulisan yang ada adalah fakta bahwa persoalan bagaimana mencegah atau bila sudah terlanjur muncul bagaimana mengelola dengan baik konflik-sengketa hukum dalam bidang apapun (hak atas kekayaan intelektual, agraria-pertanahan, perburuhan atau keluarga) masih dan terus menjadi ulasan hukum yang menarik dan tidak pernah usang.  Harapan bahwa konflik-sengketa hukum dapat dicegah atau diselesaikan justru di luar jalur hukum atau pengadilan melandasi ragam kajian dalam terbitan jurnal Veritas et Justitia ini.  Mediasi atau mungkin lebih tepatnya musyawarah untuk mufakat kiranya dipandang sebagai prosedur-ideal, harapan banyak orang ketika berhadapan dengan sengketa hak cipta, keluarga (hak asuh anak), atau  - terlepas atau mengikuti pemidanaan – pemberian ganti kerugian bagi anak korban percabulan atau penipuan dalam bentuk ponzi scheme.  Bahkan satu tulisan mengajukan usulan agar pada hakim hubungan industrial diberi keleluasaan (discretionary power) untuk menyelesaikan perkara yang mereka periksa justru di luar atau melampaui kerangka atau landasan hukum acara.  Juga dalam konteks ini ditengarai adanya kecurigaan-kecemasan terhadap campur tangan hakim Mahkamah Konstitusi. Judicial activism dari hakim-hakim MK mengancam kesepahaman kita tentang bentuk negara kesatuan Republik Indonesia.

Bukan hanya luas lingkup kewenangan Hakim MK untuk membentuk hukum yang dipertanyakan.  Bentuk negara ideal seperti apakah yang dibayangkan oleh DPR dan Mahkamah Konstitusi? Apakah Indonesia harus berubah dari Negara Kesatuan (unitary state) menjadi Negara Federal di mana Presiden, terutama dalam fungsinya sebagai Kepala Pemerintahan berbagi kekuasaan legislatif dengan Dewan Perwakilan Rakyat?  Persoalan yang kembali menjadi aktual berhadapan dengan semangat pemekaran atau administrative devolution yang bertahun ke depan masih akan mencirikan perkembangan tata pemerintahan Indonesia.  Pertanyaan besarnya di sini adalah apakah Pandemi merupakan variabel dependent atau independent dalam semua persoalan yang ditelaah?  Ataukah Pandemi tidak memiliki pengaruh apapun terhadap persoalan-persoalan hukum actual yang muncul.

Selamat membaca!

Published: 2021-06-28