Archives

  • Veritas et Justitia
    Vol. 10 No. 2 (2024)

    Catatan Redaksi

    Veritas et Justitia kembali hadir dengan sepuluh penelitian yang menyoroti tantangan mendasar di berbagai bidang hukum, khususnya yang dihadapi oleh Indonesia. Permasalahan yang dibahas mulai dari lingkungan hidup, pengelolaan sumber daya alam, potensi kerja sama yang dilakukan di wilayah maritim yang masih dipersengketakan, hingga keadilan dalam persoalan kepentingan dan hak dalam konteks perdata dan pidana. Integrasi antara reformasi kebijakan, pemanfaatan teknologi dalam penemuan hukum, dan penguatan tata kelola kelembagaan pemerintah menjadi solusi yang diharap dapat meningkatkan kepercayaan publik, serta mendukung pembangunan (hukum) yang berkelanjutan di Indonesia.

    Sebagai rumah bagi lebih dari dua puluh persen ekosistem mangrove di dunia, perlindungan mangrove sudah seharusnya menjadi perhatian penting bagi Indonesia, dan selain upaya konservasi, dirasa perlu untuk juga melakukan upaya reformulasi kebijakan pidana yang lebih progresif terhadap pelaku perusakan lingkungan dengan pendekatan hukum pidana sebagai ultimum remedium. Di sisi lain, masih dalam perhatian terhadap lingkungan secara khusus sumber daya, dalam penelitian terkait zona maritim yang masih dipersengketakan, peneliti menawarkan pengaturan sementara untuk menanggulangi penangkapan ikan ilegal. Ini dapat menjadi solusi sementara bagi negara-negara yang masih diperhadapkan dengan sengketa batas maritim untuk menjaga keberlanjutan laut berdasarkan perjanjian internasional. Utilisasi perjanjian internasional pun kembali dimunculkan dalam hal tanggung jawab maskapai, di mana adopsi perjanjian internasional serta praktik baik negara tetangga diharapkan dapat meningkatkan perlindungan pengguna jasa transportasi udara dan reputasi Indonesia di sektor penerbangan global.

    Selanjutnya, dalam beberapa penelitian pada edisi ini ditunjukkan kebutuhan modernisasi regulasi dan efisiensi sistem administratif hukum dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat. Persoalan yang disorot adalah akuntabilitas, transparansi, dan modernisasi sistem hukum. Dalam pemanfaatan teknologi hukum, ditawarkan wawasan integrasi teknologi dalam sistem hukum secara akuntabel dan rasional, agar meminimalisir bias di satu sisi, namun di sisi lain juga tetap dapat dipertanggungjawabkan oleh pengguna. Penguatan lembaga-lembaga pun menjadi sangat krusial, ketika para peneliti menyasar isu kinerja lembaga negara independen dan kasus nepotisme oleh pejabat tinggi hukum secara khusus yang dibahas adalah yang melibatkan Mahkamah Konstitusi, sehingga yang menjadi persoalan mendasar adalah quo vadis lembaga negara.

    Hukum hadir untuk melindungi masyarakat, sehingga tidak hanya menyoroti pemerintah sebagai aktor yang memang mengemban tanggung jawab utama dalam upaya kesejahteraan masyarakat, perhatian juga diarahkan pada hak individu dalam sistem hukum, termasuk hak terdakwa dalam kasus pidana dan perlindungan kelompok rentan seperti ahli waris dengan gangguan kejiwaan berdasarkan hukum Islam. Penelitian yang ada juga memberi penekanan khusus pada perlindungan kelompok rentan dalam hal ini penyandang disabilitas mental, dan keadilan prosedural demi due process of law. Lebih lanjut, "itikad baik" atau "good faith" sebagai sesuatu yang cukup sering digaungkan, namun bagaimana sesungguhnya pemaknaan itikad baik dalam kasus riil yang dalam penelitian pada edisi ini dibahas dalam konteks kewajiban fidusia?

    Pada akhirnya, benang merah dari sepuluh penelitian ini adalah tujuan penguatan pilar-pilar pembangunan hukum yang mendukung keberlanjutan, demokrasi, dan keadilan, yang memperkuat Indonesia di tataran domestik maupun di kancah internasional.

    Selamat membaca

  • Veritas et Justitia
    Vol. 10 No. 1 (2024)

    Catatan Redaksi

    Dunia hukum Indonesia mengalami banyak guncangan di tahun Pemilu ini.  Persoalan perennial antara bagaimana seharusnya hukum positif terkoneksi dengan moral kembali berada di tengah kancah perbincangan tentang hukum. Apakah yang ditafsir diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan sekaligus dapat dianggapi patut-pantas atau baik? Lantas apakah ke dalam pengertian baik juga tercakup efisiensi? Maka tujuan hukum terutama adalah memungkinkan pejabat atau pemerintah daerah bekerja secara efisien-efektif, dengan memberi kewenangan untuk menarik pajak atau mengambil alih saham perusahaan pertambangan, sembari tetap menjaga keamanan dan ketertiban. Sekalipun demikian, dapat terus diperdebatkan apakah tujuan hukum hanya itu atau kembali kita merujuk, tanpa betul paham makna dan konsekuensinya, pada formula tujuan hukum adalah kepastian-keadilan dan kebertujuan (seringkali diterjemahkan keliru sebagai kemanfaatan) dari Radruch.

    Kesemua sumbangan tulisan yang ada menuliskan secara seragam bahwa metode penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif. Namun pesan utama yang disampaikan melampaui sekadar telaahan aturan-aturan tertulis apa yang harus dirujuk untuk menemukan hukum. Di balik dan melampaui telaahan hukum atas ragam persoalan terasa adanya kegamangan menjawab persoalan bagaimana mengelola dan memilih jalan terbaik menghadapi tantangan perubahan zaman.

    Pada tataran mikro kita temukan perbincangan tentang bentuk kemitraan usaha yang dimungkinkan aplikasi Gojek. Bentuk ideal kerjasama yang justru memunculkan persoalan bagaimana melindungi mitra sebagai pekerja dan siapakah yang kemudian menjadi majikan. Juga menjadi sorotan adalah kegagalan Koperasi Simpan Pinjam untuk mengelola usaha secara berkelanjutan. Apakah di sini hukum secara umum atau pengadilan niaga yang diperluas kewenangannya secara khusus dapat memberikan solusi bagi persoalan-persoalan ekonomi? Persoalan seperti digambarkan di atas memaksa kita menerima keniscayaan pendekatan yang tidak melulu hukum tetapi juga melibatkan pendekatan keilmuan lain, misalnya seperti disebut di atas yaitu bidang ekonomi. Begitu juga ketika yang dipersoalkan adalah batas-batas kewenangan atau kepantasan tindakan presiden untuk mengangkat hakim Mahkamah Konstitusi. Seberapa jauhkah bentuk campur tangan eksekutif tersebut pada penyelenggaraan kekuasaan yudisiil atau kewenangan Presiden untuk menafsir konstitusi berpengaruh terhadap perimbangan kekuasaan politik (balance of power) dan penjagaan demokrasi Indonesia? Tanpa pemahaman akan keterkaitan demokrasi pada perlu adanya perimbangan kekuasaan di dalam negeri, maka kajian hukum hanya akan berhenti pada ulasan pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan.

    Pembahasan berbeda adalah tentang ancaman yang datang perkembangan teknologi informasi yang tidak mungkin sepenuhnya dikendalikan negara berdaulat sendiri. Lagipula penggunaan digital platform dalam ragam bidang usaha menciptakan ekosistem bisnis yang berbeda, di mana aturan internal bisa jadi lebih besar pengaruhnya dari aturan eksternal yang dibuat negara. Juga ancaman yang muncul dalam ekosistem ini akan memaksa negara dan masyarakat internasional merespons, salah satunya dengan mengembangkan perlindungan atas data biometrik. Tetapi lebih sering tanggapan yang ada justru terkesan gagap dan gamang, sehingga perlu kajian mendalam mengenai kesesuaian hukum yang ada dengan permasalahan di lapangan.

    Selamat membaca

  • Veritas et Justitia
    Vol. 9 No. 2 (2023)

    Catatan Redaksi

    Jurnal ilmu hukum Veritas et Justitia Volume 9 Nomor 2 menyampaikan dua buah naskah penelitian yang merupakan hasil analisis penelitian atas putusan hakim. Analisis putusan pertama merupakan analisis putusan kasus Hubungan Industrial antara Siti Harini dan PT Batik Danar Hadi. Menarik untuk dibaca, karena terdapat perbedaan amar putusan di tingkat pertama dengan di tingkat kasasi. Sedangkan naskah penelitian putusan kedua berkorelasi dengan analisis merek terkenal “PIERRE CARDIN”, yang terdapat dalam Putusan Nomor 15/Pdt.Sus-Merek/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst, Putusan Nomor 557 K/Pdt.Sus-HKI/2015, dan Putusan Nomor 49 PK/Pdt.Sus-HKI/2018.

    Dua naskah lain dalam Jurnal Veritas et Justitia Volume 9 Nomor 2 menyampaikan analisis tentang hukum Syariah. Naskah pertama berkaitan dengan merger tiga Badan Usaha Milik Negara Syariah menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI) yang berdampak pada eksekusi Hak Tanggungan (HT) pasca merger. Sedangkan naskah kedua mengalisis dan mengetahui pemaknaan, batasan, dan implementasi prinsip ex aequo et bono dalam putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).

    Penelitian lain yang disarikan dalam sebuah naskah berisi dan menganalisis tentang bahwa lembaga penyusun daerah pemilihan memiliki peran sentral dalam, dapat tidaknya dihasilkan susunan daerah pemilihan yang proporsional.

    Lebih lanjut, sejak awal kemunculannya, konsep ekspropriasi senantiasa diliputi oleh kontroversi. Dewasa ini, ditengah gelombang krisis dan reformasi Bilateral Investment Treaty (BIT), persoalan konsep ekpropriasi mengemuka secara lebih kompleks dalam ranah teori maupun praktik. Secara teoretik, misalnya belum ditemukan batasan yang jelas antara konsep ekspropriasi yang mensyaratkan pemberian kompensasi, di satu sisi, dan di sisi lain, konsep hak untuk mengatur yang memiliki syarat serupa dengan ekspropriasi, tetapi justru tak mewajibkan pemberian kompensasi. Situasi ini diperumit oleh problem praktik inkonsistensi dan inkoherensi putusan arbitrase. Secara substansi tentang tema ini menarik dibaca dan dipahami.

    Tema hukum adat dan antropologi hukum juga muncul sebagai salah satu naskah dari sebuah proses penelitian, dimana terdapat perubahan pola pikir masyarakat adat Dayak di Kabupaten Sanggau terhadap Hutan Adat sebagai akibat perkebunan kelapa sawit. Di dalam naskah tentang hal ini mendeskripsikan dampak perkebunan kelapa sawit bagi hutan adat, hak ulayat, dan visi ekologis masyarakat hukum adat di Kalimantan Barat.

    Lebih lanjut, penelitian tentang hukum ketatanegaraan dalam volume ini diwakili oleh hasil penelitian tentang MPR adalah lembaga otonom di antara DPR dan DPD tetapi kekuasaannya terbatas karena sifanya periodik dan insidental. Dalam penelitian tentang hal ini bertujuan untuk menjawab permasalahan mengenai apa problematik kekuasaan MPR dan bagaimana penataannya.

    Bagian terakhir dari Jurnal Veritas et Justitia Volume 9 Nomor 2 memaparkan tentang pembagian dividen interim yang dibagikan sebelum akhir tahun buku  oleh Direktur atas persetujuan Komisaris. Perusahaan yang mengalami kerugian dalam laporan di akhir tahun, pemegang saham wajib mengembalikan dividen interim berdasarkan Undang-Undang Nomor: 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Demikian pula halnya dengan perusahaan yang mengalami kepailitan berdasarkan Undang-Undang Nomor: 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Kurator dalam kepailitan berdasarkan Auctio Pauliana dengan gugatan lain-lain dapat meminta pengembalian dividen interim perusahaan di Pengadilan Niaga. Namun Kurator hanya dapat meminta pertanggungjawaban pengembalian dividen interim kepada Direktur dan Komisaris secara tanggung renteng. Dalam pembahasannya, Direktur yang kewenangannya telah diambil alih Kurator, apabila pemegang saham menolak pengembalian dividen interim, akan melakukan gugatan di Pengadilan Negeri. Namun perkara di Pengadilan Negeri akan memerlukan waktu yang panjang, karenanya perkara pengembalian dividen tersebut wajib diajukan di Pengadilan Niaga.

    Selamat membaca

  • Veritas et Justitia
    Vol. 9 No. 1 (2023)

    Catatan Redaksi

    Jurnal ilmu hukum Veritas et Justitia Volume 9 Nomor 1 membuka wacana awal dengan menghadirkan sebuah penelitian tentang status lahan di ibu kota negara (IKN) yang berlokasi di Kalimantan Timur. Kajian normatif dilakukan dengan diperkuat oleh tidak hanya berdasarkan data sekunder tetapi juga data primer. Menarik untuk dicermati dan dipahami, bahwa ternyata tanah negara “bertumpuk” dengan pengakuan tanah adat dan kesultanan. Salah satu hasil penelitian ini yaitu menemukan tafsir birokrat atas ‘tanah negara’ yang bercorak formalistik sehingga tidak peka dengan realitas empirik penguasaan tanah.

    Setelah narasi ilmiah tentang status lahan di IKN, naskah selanjunya akan menganalisis konsep dikotomi antara ‘hak negatif’ dan ‘hak positif’ dalam diskursus hak asasi manusia (HAM). Penemuan dalam tulisan ini menunjukkan bahwa dikotomi tersebut tetap dapat digunakan dalam proses pedagogi/pengajaran HAM, namun dalam perspektif teoritik-konseptual dan praktek ketatanegaraan tidaklah dapat dipertahankan lagi.

    Tulisan ketiga akan memaparkan hasil penelitian akses energi bersih dan terjangkau masih menjadi permasalahan di berbagai belahan dunia. Dengan menggunakan pendekatan konseptual, artikel ini menguji diskursus konsep hak moral dan hak legal dari hak atas akses energi bersih dan terjangkau dalam hukum internasional. Selanjutnya artikel ini menganalisis korelasi dan pentingnya hak atas energi bersih dan terjangkau bagi pemenuhan hak atas tempat tinggal yang layak. Hasil analisis menunjukkan bahwa belum ada instrumen hukum internasional yang secara langsung mengakui dan menjamin hak atas energi bersih dan terjangkau.

    Naskah lain yang dapat dibaca adalah sebuah penelitian yang membahas mengenai ketegasan instrumen hukum dan kejelasan peraturan terkait prosedur ratifikasi perjanjian perdagangan internasional di Indonesia pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 13/PUU-XVI/2018. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi No. 13/PUU-XVI/2018 memberikan perluasan ruang bagi perjanjian perdagangan internasional, untuk dapat diratifikasi dengan undang-undang selain sebelumnya hanya diatur dengan peraturan presiden.

    Tulisan kelima menggunakan dekonstruksi dalam melihat keharaman bunga bank. Dekonstruksi dimaksudkan sebagai kritik metode penentuan status keharaman bunga bank yang dianalogikan dengan riba, serta merekonstruksikan persoalan tersebut dengan metode lainnya guna menghasilkan fatwa yang lebih implementatif, khususnya bagi masyarakat majemuk.

    Setelah hasil penelitian  tentang dekonstruksi keharamanan bunga bank, pembaca juga dapat mempelajari tentang penelitian yang berupaya untuk  merumuskan formulasi pidana yang dapat diterapkan kepada korporasi atas delik lingkungan hidup.

    Naskah ketujuh yang disampaikan oleh jurnal Veritas et Justitia, berkaitan dengan Covid-19, khususnya tentang bagaimana kedudukan kedaruratan kesehatan masyarakat dalam perspektif hukum ketatanegaraan Indonesia dalam konteks Covid-19, dan lebih jauh, menganalisis tentang bagaimana kewenangan negara dalam membatasi HAM dalam arti kedaruratan kesehatan masyarakat menurut hukum HAM.

    Setelah membahas beberapa tema di atas, pembaca juga dapat memahami tentang pengupahan, khususnya pengupahan di sektor buruh informal. Ada dua permasalahan yang menjadi fokus kajian tentang pengupahan ini, pertama adalah bagaimana paradigma politik hukum pengupahan Indonesia? Kedua, paradigma apa yang harus dimuat di dalam politik hukum pengupahan Indonesia guna memberikan upah yang layak bagi buruh informal.

    Dua naskah terakhir yang tersaji dalam jurnal Veritas et Justitia Volume 9 Nomor 1 berkorelasi dengan bagaimana mengetahui dan memahami peran Perguruan Tinggi, khususnya Fakultas Hukum, dalam penyiapan Kesiapsiagaan Nasional Indonesia untuk menanggulangi kejahatan terorisme, dan penelitian tentang pengembangan pengetahuan hukum perdata untuk mengantisipasi dan menangani setiap resiko di masa depan yang berkorelasi dengan Artificial Intelligence.

    Selamat membaca

  • Veritas et Justitia
    Vol. 8 No. 2 (2022)

    Catatan Redaksi

    R-KUHP setelah sekian lama tertunda, akhirnya disahkan. Pemerintah dan DPR bersikukuh tidak ada yang salah dengan teks sebagaimana dirumuskan sebagai deretan bab dan pasal. Dikatakan tentang sejumlah pasal-pasal kontroversial di dalamnya bahwa itu semua dilakukan dengan mengakomodasi berbagai kepentingan politik berbeda.  Sementara itu tidak semua elemen masyarakat menyambutnya dengan gembira.  Mereka yang berkeberatan menyoroti sebenarnya perilaku dari penegak hukum dan pemerintah dan bagaimana ketentuan-ketentuan Pasal dalam KUHPidana baru akan dapat membenarkan perilaku buruk penegak hukum ketika mengurangi-merampas-meniadakan hak-hak warga negara atas nama peraturan perundang-undangan. Bagaimanapun juga apa yang tampak adalah cara membaca peraturan secara berbeda. Pemerintah melihat teks (KUHP baru) sebagai suatu capaian. Sementara masyarakat membaca teks dalam konteks berbeda. Dikaitkan dengan kecenderungan dan pola kebijakan pemerintah, teks dibaca sebagai ancaman pembenaran penindasan.

    Cara membaca teks terlepas dari konteks – hanya rumusan peraturan berdiri sendiri - dan text dalam konteks mewarnai pula tulisan-tulisan yang terkolase dalam terbitan jurnal Veritas et Justitia sekarang ini.  Salah satu konteks terpenting adalah perubahan dunia yang semakin cepat. Kebutuhan sebagian masyarakat akan jasa digital banking, dunia virtual dan avatar sebagai personae baru, perlindungan konsumen pangan hasil rekayasa genetik dan seterusnya menunjukkan pula bahwa teks hukum lama (tertulis dari negara) dengan cepat kehilangan kontekstualitasnya.

    Apakah semua ini tidak mendorong kita untuk mencari cara membuat hukum yang berbeda? Hukum yang dapat dengan cepat mengikuti perubahan arus zaman?  Maka apa sebaliknya kita sekaligus harus menata ulang pemahaman kita akan peran negara dan pemerintah: apakah masih governing atau hanya sekadar governance. Apakah pendekatan kodifikasi – yang dipertahankan pembuat KUHP Indonesia - masih dapat diandalkan ataukah, demi good governance dan pemajuan kepentigan ekonomi, pendekatan terbaik adalah omnibus? Ataukah pendekatan fragmentaris-sektoral dan pragmatis yang selama ini sebenarnya digunakan pemerintah dan pembuat undang-undang sudah tepat?  Pertanyaan lain di tengah ancaman perang dan bencana alam adalah seberapa jauh hukum dapat mengakomodasi kepentingan lingkungan atau tetap mendahulukan  kepentingan manusia? Kita kerapkali masih cenderung menyamakan begitu saja hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) dengan regulasi maupun kebijakan (policy).

    Ditengarai pula, bahkan di Indonesia, kecenderungan negara-pemerintah mencoba menarik kembali kekuasaan yang lenyap. Itu dilakukan berhadapan dengan berkembangnya keberagaman hukum masyarakat di luar jangkauan hukum negara. Satu tulisan menyoroti kemungkinan penggunaan pernyataan negara dalam keadaan bahaya (termasuk ketika menghadapi dunia yang terlalu cepat berubah) dengan pernyataan sepihak (dekrit).  Ketidaksabaran dan ketidakmampuan penguasa menghadapi perdebatan panjang tidak berujung dalam demokrasi di masa lalu adalah penyebab munculnya dekrit ini.  Pengembangan kehidupan demokratis tertunda, dan kembali kita berada di posisi seolah hanya negara yang menjadi penyedia aturan yang otoritatif.

    Kumpulan tulisan yang ada pada akhirnya menyoal dan mencari jawaban, justru atas persoalan yang tersembunyi di balik cerita yang dikisahkan.

    Selamat membaca

       

     

     

  • Veritas et Justitia
    Vol. 8 No. 1 (2022)

    Catatan Redaksi

    Apakah masyarakat Indonesia harus galau menghadapi ancaman-tantangan yang muncul dari percepatan perubahan zaman yang dibawa Industri 4.0, atau bahkan perkembangan metaverse?  Sudah sejak Alvin Toffler (era 70’an) kita semua diingatkan akan adanya akselerasi perubahan dan pesan bahwa satu-satunya kepastian adalah justru perubahan yang semakin cepat-sering dan radikal.  Sekian decade kemudian Yuval Harari mengingatkan kita semua akan tantangan perubahan zaman, termasuk ancaman yang khusus menyasar negara-negara berkembang. 

    Presiden Jokowi dalam kunjungannya ke UNPAR pada 2022 mengingatkan kita akan ketidakpastian global dan menantang dunia pendidikan tinggi, bukan hanya ilmu hukum, untuk menanggapi. Tentu itu memenuhi undangan itu tidak-lah semudah membalikan tangan.  Satu tulisan mencoba menelusuri kembali pesan utama yang disampaikan dan menelisik apa dan bagaimana dunia pendidikan tinggi hukum seyogianya menanggapi perubahan zaman.  Tentu apa yang dituliskan tidak niscaya merupakan jawaban akhir.  Apalagi perubahan tercepat terasa begitu nyata muncul di dunia digital maupun sains. 

    Uang sebagai alat tukar mempermudah perdagangan lintas batas negara. Tetapi apakah hukum nasional masih dapat diandalkan, untuk mengatur dan mengendalikan penggunaan crypto currency?  Lantas bagaimana dengan kegiatan ekonomi yang bersifat lintas batas seperti bisnis over the top?  Seberapa jauh Negara dapat mengejar perkembangan bisnis di dunia digital yang tidak kenal dan peduli batas kedaulatan dan hukum nasional? 

    Ketertinggalan hukum juga dirasakan ketika kita berbicara tentang iptek (sain).  Pengembangan Protocol Kesehatan (yang dibangun berdasarkan sains yang terus berubah) di masa Pandemi juga terus berubah, kadang secara radikal. Apa yang disebut hukum tidak lagi dapat dimaknai sebagai sesuatu yang ajeg dan memberi kepastian.  Penulis lain menelaah bagaimana Outer space faring nations, penguasa iptek terkini, mengusulkan eksplorasi-eksploitasi bulan dan benda-benda angkasa.  Bagaimana Indonesia harus menanggapi kesenjangan penguasaan iptek dengan negara maju dan seberapa jauh iptek yang terus berubah-berkembang harus dicerminkan dalam kebijakan public? Dua tulisan tentang perkembangan dunia hukum antariksa dan penanganan pandemic menyoroti hal ini.

    Satu hal yang diingatkan satu penulis lain adalah keterlindanan hukum dan politik. Kita tidak dapat dan mungkin mengandaikan bahwa hukum niscaya mencerminkan kepentingan bersama.  Diskusi tentang tentang nasib bulan dan benda-benda angkasa, perlunya mengundang investasi asing melalui UU Cipta Kerja, bagaimana kita harus menyikapi urusan sengketa perjanjian kerja yang melibatkan majikan wakil negara sahabat, sampai dengan pengembangan hukum waris pasca penghapusan kriteria golongan penduduk menunjukkan pentingnya mencermati keterkaitan pengembangan hukum dan pertarungan politik. 

    Apakah kemudian ilmu pengetahuan terkini dapat memberi jalan keluar dan memberi jawaban pasti bagi masalah-masalah masyarakat? Tulisan-tulisan yang ada justru menolak jawaban hitam putih. Namun bagaimanapun juga kita tetap harus mengembangkan hukum (nasional-internasional) dengan kesadaran penuh akan ketidakpastian.

    Selamat membaca

       

     

     

  • Veritas et Justitia
    Vol. 7 No. 2 (2021)

    Catatan Redaksi

    Ada ungkapan dalam bahasa latin yang sedianya juga dikenal pengemban ilmu hukum (di-) Indonesia: fiat Justitia ruat caelum atau fiat justita et pereat mundus. Ungkapan ini kurang lebih dapat dimaknai pentingnya mempertahankan dan memperjuangkan penegakan hukum dan keadilan, bahkan bilapun dunia musnah atau langit runtuh. Ditafsir harafiah kredo ini tidak masuk logika, karena bila dunia berakhir tidak lagi ada masyarakat maupun hukum (ubi societas ubi ius).  Lepas dari itu apa pesan yang hendak disampaikan adalah bahkan di masa pandemi yang berkepanjangan, [justru] penegakan hukum dan keadilan semakin penting.   Lagipula seberapapun seriusnya Pandemi ini, dunia kita tidaklah runtuh tetapi masyarakat (dan artinya juga hukum) terpaksa dan dipaksa menyesuaikan diri.

    Di dalam kompilasi tulisan edisi akhir tahun ini tiga persoalan hukum (substantif, hukum acara dan dampak sosial ekonomi) secara langsung dikaitkan dengan Pandemi COVID 19.  Persoalan bagaimana negara, pemerintah dan masyarakat menanggapi the new normal dan mengembangkan strategi baru bermodalkan teknologi informasi kiranya selama beberapa tahun ke depan masih akan terus menyita perhatian kita.  Salah satu jawaban yang ditawarkan, termasuk untuk meningkatkan efisiensi adalah e-government, dan penyelenggaraan sidang pengadilan melalui media virtual.  Implikasi yuridis dari seberapa jauh perubahan yang dicanangkan untuk bekerja sepenuhnya di dunia virtual-digital berdampak pada prinsip atau asas hukum seringkali terlewatkan.   Pertanyaan paling penting adalah apakah menggeser semua kontak manusia termasuk urusan hukum dan pemerintahan menjadi relasi-relasi virtual adalah masa depan yang niscaya?

    Pandemi ini juga menunjukkan semakin tingginya harapan maupun besarnya ketergantungan masyarakat pada jaminan adanya tata kelola pemerintahan (governance) yang tidak saja kuat, namun lebih dari itu baik-benar dan adil.  Itu pula sebabnya mengapa penting untuk dapat memastikan kapan dan bagaimana terjadi penyalahgunaan kewenangan.  Satu hal yang secara khusus diatur dalam UU tentang Administrasi Pemerintahan.  Dalam konteks pemahaman kita tentang Negara Hukum Indonesia, penetapan batas-batas kewenangan Negara menjadi semakin genting terutama berkaitan dengan komitmen politik Pemerintah untuk mengatur dan menangani berbagai keberagaman persoalan hukum, mulai dari batas kewenangan presiden menerbitkan PERPU, perlindungan warisan budaya bawah air, perlindungan anak, pemberlakuan hukum Islam dalam dunia asuransi.  Ini semua kembali menjadi penting dalam perspektif kedaruratan administrasi pemerintahan.  

    Lantas dengan banyaknya regulasi yang dibuat pemerintah di masa normal maupun pandemic ini, bagaimana menjaga keselarasan dan efisiensi penyelenggaraan negara. Itu pula yang ditelaah satu artikel lain dalam kumpulan ini.  Gagasan yang diajukan adalah adanya satu lembaga tunggal yang bertanggung jawab mengelola dan mungkin juga mengendalikan produksi regulasi dari agen-agen negara maupun pemerintah.

    Satu hal yang tampaknya berada di luar benang merah kompilasi tulisan ini adalah telaahan tentang otopsi forensic, terutama dalam hal kematian terjadi tidak secara wajar.  Masyarakat, bahkan di masa pandemi ini, lebih mementingkan pemulasaraan sesuai ajaran agama, daripada mengungkap kebenaran perihal penyebab kematian.  Kepasrahan mengalami kematian dipandang sebagai virtue lebih tinggi daripada mengungkap kebenaran dan mengejar keadilan.  

    Selamat membaca

       

     

     

  • Veritas et Justitia
    Vol. 7 No. 1 (2021)

    Catatan Redaksi

    Sampai pertengahan 2021, kebanyakan dari kita, termasuk dunia akademik, belum selesai dan sepenuhnya beradaptasi pada situasi kenormalan baru. Pandemi (COVID 19) dan sekarang ini juga ditambah sekian banyak bencana alam yang berkelanjutan melanda Indonesia masih menjadi potret keseharian kita. Sejatinya, ketidakpastian dan volatilitas yang muncul akan terus membayangi urusan penyelenggaraan negara dan penegakan hukum di Indonesia. Tentu di ujung cakrawala muncul cercah asa.  Negara kita sekalipun dengan ekonomi morat-marit tidak sertamerta mengalami kelumpuhan seperti yang terjadi pada Krisis Moneter-Ekonomi 1997-99, ekonomi setidaknya dalam bentuk dan skala berbeda masih terus menggeliat, vaksinasi massal sudah mulai dilakukan dan ada peluang untuk kembali melakukan kegiatan sekolah-kantor-usaha di luar jaringan.  Sekalipun demikian, itu saja tidak berarti bahwa kita sepenuhnya akan kembali mengalami-menikmati situasi pre-Pandemi.

    Di balik itu semua juga dapat dicermati adanya satu hal yang berlangsung konstan dengan atau tanpa Pandemi: adanya kebutuhan untuk terus pengembangan pemikiran hukum, satu dan lain, karena terus muncul konflik-sengketa ataupun persoalan-persoalan hukum lain dalam bentuk lama ataupun baru seperti urusan cost recovery di bidang pajak usaha pertambangan atau pemaduserasian sistem elektronik dengan pasar bursa-efek. Di samping itu apa yang dapat dicermati dari kumpulan tulisan yang ada adalah fakta bahwa persoalan bagaimana mencegah atau bila sudah terlanjur muncul bagaimana mengelola dengan baik konflik-sengketa hukum dalam bidang apapun (hak atas kekayaan intelektual, agraria-pertanahan, perburuhan atau keluarga) masih dan terus menjadi ulasan hukum yang menarik dan tidak pernah usang.  Harapan bahwa konflik-sengketa hukum dapat dicegah atau diselesaikan justru di luar jalur hukum atau pengadilan melandasi ragam kajian dalam terbitan jurnal Veritas et Justitia ini.  Mediasi atau mungkin lebih tepatnya musyawarah untuk mufakat kiranya dipandang sebagai prosedur-ideal, harapan banyak orang ketika berhadapan dengan sengketa hak cipta, keluarga (hak asuh anak), atau  - terlepas atau mengikuti pemidanaan – pemberian ganti kerugian bagi anak korban percabulan atau penipuan dalam bentuk ponzi scheme.  Bahkan satu tulisan mengajukan usulan agar pada hakim hubungan industrial diberi keleluasaan (discretionary power) untuk menyelesaikan perkara yang mereka periksa justru di luar atau melampaui kerangka atau landasan hukum acara.  Juga dalam konteks ini ditengarai adanya kecurigaan-kecemasan terhadap campur tangan hakim Mahkamah Konstitusi. Judicial activism dari hakim-hakim MK mengancam kesepahaman kita tentang bentuk negara kesatuan Republik Indonesia.

    Bukan hanya luas lingkup kewenangan Hakim MK untuk membentuk hukum yang dipertanyakan.  Bentuk negara ideal seperti apakah yang dibayangkan oleh DPR dan Mahkamah Konstitusi? Apakah Indonesia harus berubah dari Negara Kesatuan (unitary state) menjadi Negara Federal di mana Presiden, terutama dalam fungsinya sebagai Kepala Pemerintahan berbagi kekuasaan legislatif dengan Dewan Perwakilan Rakyat?  Persoalan yang kembali menjadi aktual berhadapan dengan semangat pemekaran atau administrative devolution yang bertahun ke depan masih akan mencirikan perkembangan tata pemerintahan Indonesia.  Pertanyaan besarnya di sini adalah apakah Pandemi merupakan variabel dependent atau independent dalam semua persoalan yang ditelaah?  Ataukah Pandemi tidak memiliki pengaruh apapun terhadap persoalan-persoalan hukum aktual yang muncul.

    Selamat membaca

       

     

     

  • Veritas et Justitia
    Vol. 6 No. 2 (2020)

    Catatan Redaksi

    Pandemi akibat COVID19 atau kita kenali juga sebagai pageblug belum juga berlalu dan kita terpaksa mulai terbiasa menyesuaikan diri dengan kehidupan dan bekerja di masa kenormalan baru.  Itu pula sebabnya redaksi bergembira bisa, di masa normal baru, tetap menyajikan ke hadapan pembaca edisi kedua Jurnal Veritas et Justitia di tahun 2020. 

    Edisi Veritas et Justitia sekarang ini memuat sejumlah pemikiran terkini tentang  permasalahan hukum dalam praktik perbankan-bisnis keuangan, berturut-turut yang konvensional, berbasis syariah dan yang kontemporer (FinTech).  Terkait dengan itu pula peluang pendirian badan-badan usaha, termasuk perseroan terbatas dengan pemegang saham tunggal.  Pertanyaan mendasar di sini adalah seberapa jauh pemerintah dan hukum negara dapat beradaptasi terhadap perkembangan dunia usaha (industri perbankan-keuangan dan perusahaanan) sembari tetap memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak dasar masyarakat maupun khususnya perseorangan sebagai warga biasa ataupun sebagai konsumen?

    Kepedulian terhadap perlindungan terhadap kelompok rentan melandasi pula pemikiran dalam satu tulisan agar Badan Pemeriksa Keuangan diberi kewenangan membantu dan mengawasi pembuatan dan pelaksanaan anggaran-pendapatan belanja daerah oleh pemerintah daerah otonom.  Bagaimana kita dapat melindungi warga negara biasa (pembayar pajak) dari penyelewengan dan penyalahgunaan anggaran oleh pejabat-pejabat negara? Hal ihwal yang menjadi sangat penting ketika perjuangan memberantas korupsi melambat tersebab re-organisasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2019.  Padahal justru kiprah KPK selama ini dengan gamblang menunjukkan kerentanan pemerintah daerah bahkan parlemen pada godaan menyalahgunakan keuangan pemerintah daerah. 

    Dalam semangat yang sama dapat kita cermati usulan memperkuat daya ikat rekomendasi Ombudsman pada pemajuan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Ditengarai perlunya penguatan posisi hukum dari rekomendasi Ombudsman dan kesungguhan pemerintah untuk menanggapi sanksi yang dijatuhkan dalam hal pengabaian rekomendasi. Di sini muncul kembali persoalan kerentanan warga biasa di hadapan penguasa yang setelah dinyatakan keliru masih dapat bersikukuh abai dengan mengajukan alasan-alasan hukum dan politis- apapun yang dipahami dengan itu.

    Pentingnya layanan publik, kali ini tentang pembuatan surat keterangan waris yang hanya dapat disediakan notaris publik juga diulas.  Masyarakat adat sebagai kelompok rentan ternyata juga berada di luar jangkauan layanan notaris yang bekerja berdasarkan hukum perdata Barat.  Padahal mereka-pun mengalami persoalan-persoalan serupa berkaitan dengan pewarisan yang dihadapi masyarakat Indonesia lainnya.  Apakah akar masalahnya adalah masih diberlakukannya pembagian golongan penduduk dan, dengan demikian, diskriminasi seolah dibenarkan?

    Persoalan lain adalah ihtiar mencari kesimbangan antara perlindungan hak privasi pasien dengan kepentingan publik: penegakan hukum.  Apakah rekam medis dapat sepenuhnya dirahasiakan? Kapankah kerahasiaan ini sebenarnya dapat diterobos? Di luar ini juga dapat disebut kepentingan publik untuk mendapatkan calon pimpinan atau wakil rakyat yang sehat.  Ketika mereka sebagai syarat mendaftarkan diri sebagai calon pimpinan memeriksakan kesehatan diri, apakah data medik mereka harus tetap dirahasiakan atau dibuka sebagai wujud pertanggungjawaban publik?

    Pada akhirnya kita setiap kali harus merenungkan persoalan klasik bagaimana hukum seharusnya dapat melindungi dan justru lebih berpihak pada kelompok-kelompok rentan, mereka yang mudah terdiskriminasi di hadapan hukum yang berkembang semakin kompleks.

    Selamat membaca

       

     

     

  • Veritas et Justitia
    Vol. 6 No. 1 (2020)

    CATATAN REDAKSI

    Ditengah pandemic akibat sebaran COVID-19, redaksi Veritas et Justitia tetap bekerja keras untuk menerbitkan edisi tengah tahun 2020.  Pesan yang hendak diusung Redaksi, adalah sekalipun ditengah bencana, kita tetap harus mampu menjaga semangat terus mengembangkan hukum di Indonesia dan lebih lagi menghasilkan karya ilmiah hukum yang bernas.  Ini dikatakan bukan dengan niat menutup mata terhadap derita dari mereka yang pada tataran up, close and very personal, mengalami dampak COVID-19.   Untuk mereka semua, Redaksi berbela sungkawa dan semoga kita sebagai bangsa juga dapat melalui cobaan berat ini.

    Edisi tengah tahun ini memuat kolase tulisan ilmiah hukum dengan ragam topik.  Sejumlah tulisan menyoal masalah-masalah hukum pidana aktual (korupsi, illicit enrichment, digital hate speech), hukum acara pidana (kewenangan oportunitas) maupun persoalan-persoalan penegakan hukum pidana lainnya dalam kaitan dengan perlindungan-perhormatan hak asasi manusia.   Masalah-masalah ini juga banyak dibincangkan di media non-ilmiah, bahkan media sosial digital.

    Sebagai imbangan disajikan juga tulisan-tulisan lain yang membahas persoalan-persoalan di bidang hukum perdata dan acara perdata.  Satu artikel menelaah perbandingan pengaturan waralaba Indonesia-Australia, sedangkan satu artikel lain membahas perkembangan terkini dalam penyelenggaraan peradilan perdata di era digital. Di beberapa pengadilan di Indonesia hal ini sudah beberapa tahun kebelakang diwujudkan.  Sekarang ini dengan kebijakan lock down di berbagai daerah, social distancing dalam rangka mencegah penyebaran COVID-19, dan secara umum dengan mempertimbangkan kemungkinan kebutuhan pemajuan efisiensi peradilan, akan juga diberlakukan dibanyak pengadilan di seluruh Indonesia.  Pertanyaan besar lainnya adalah apakah hal ini juga akan dimungkinkan bagi peradilan pidana?

    Satu tulisan lain menyoal kebijakan moratorium perkebunan kelapa sawit.  Fakta adanya kebakaran hutan yang meluas setiap tahun di lahan-lahan perkebunan kepala sawit dan hutan di sejumlah pulau di Indonesia menunjukkan pentingnya perdebatan ini.  Terkait dengan itu adalah persoalan dampak sosial-ekonomi dari moratorium baik terhadap pengusaha maupun negara.  Persoalan ini terkait pula dengan seberapa jauh analisis sebenarnya di Indonesia analisis dampak legislasi telah dilakukan sebelum dan sesudah pemberlakuan peraturan perundang-undangan. 

    Terakhir dapat disebut, dalam kaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan, penggunaan mutasi pegawai sebagai satu bentuk sanksi. Perlu disadari bahwa dalam kenyataan, mutasi ke atas, ke bawah atau ke samping dapat dialami sebagai hukuman alih-alih penghargaan.

    Selamat membaca

       

     

     

  • Veritas et Justitia
    Vol. 5 No. 2 (2019)

    CATATAN REDAKSI

    Dalam edisi Desember 2019, Veritas et Justitia memuat kolase naskah dari berbagai bidang kajian ilmu hukum.  Diharapkan dari nukilan-nukilan pemikiran tersebut muncul terobosan pemikiran di bidang ilmu hukum yang sekaligus mengundang pembaca untuk menanggapi dan mengritisi lebih lanjut.  Bila ini betul terjadi, maka salah satu tujuan penerbitan dan penyebarluasan kumpulan tulisan ilmiah dari para penulis tersebut telah tercapai.

    Edisi bulan Desember ini memuat tulisan dari ragam bidang kajian. Tulisan pertama bernuansa filosofis dan menyoal penafsiran teleologis/sosiologis-purposif dari kacamata Aharon Barak. Pertanyaan tentang tujuan hukum dan seberapa jauh tujuan yang dititipkan pada hukum dapat dijadikan panduan dalam menemukan hukum adalah persoalan perennial dan penting yang terus diperdebatkan dalam kehidupan berhukum di Indonesia. 

    Persoalan mendasar serupa muncul dalam diskusi tentang pengaturan delik zina dalam yurisprudensi Indonesia.  Seberapa penting dan perlu hukum (pidana) mengatur ikhwal zinah dalam rangka menjaga akhlak manusia?  Tulisan lainnya menyoal tujuan hukum pidana ketika berhadapan dengan orang yang terganggu jiwanya.

    Tulisan berikutnya, bersifat lebih praktis dan mempertanyakan ikhwal tepat/tidaknya kategori perampokan dengan kekerasan di laut lepas atau sebagai piracy de jure gentium.   Untuk Indonesia yang harus berhadapan dengan jenis kejahatan seperti ini di perairan Riau dan selat Malaka, jawaban atas pertanyaan ini punya konsekuensi hukum jauh.  Di sinipun ditengarai persoalan terletak pada tujuan penegakan hukum.

    Tulisan lain menelaah persinggungan dan pengaruh perkembangan Intellectual Property Rights (perlindungan Merek) terhadap wakaf dalam Hukum Islam kontemporer Indonesia.  Apakah tujuan perlindungan merek dapat dititipkan ke dalam konsep wakaf?  Persoalan lain  yang dipaparkan adalah tentang pembiayaan berkelanjutan, di sektor perbankan melalui konkritisasi Pasal 33 UUD RI 1945.  Tujuan hukum yang muncul mungkin saja jauh berbeda dan seberapa jauhkah hukum nasional dapat mengabaikan keberlakuan sub-sistem hukum (Islam- Adat) dengan tujuan-tujuan hukum yang berbeda.

    Beberapa tulisan lain ada di ranah hukum keperdataan. Satu tulisan menyoal anjak piutang dan wanprestasi. Tulisan lainnya berbicara tentang mahar dalam hukum Islam-hukum nasional dan perjanjian pemisahan harta suami-istri yang sekarang dapat diperjanjikan selama perkawinan berlangsung.  Diam-diam di dalamnya juga dilakukan perbandingan antar waktu.  Seberapa jauhkah hukum dapat menjawab kebutuhan dan perkembangan kontemporer? Apakah tujuan hukum sekarang ini masih juga sebatas memberikan kepastian-keadilan ataukah terhadapnya dapat dikaitkan tujuan-tujuan baru?  Pertanyaan ini juga muncul di balik tulisan pelayanan public berbasis elektronik dan sejauh mana hal itu dapat memunculkan perilaku anti-korupsi dan artinya mengurangi beban hukum pidana untuk mencegah dan memberantas perilaku KKN yang secara umum masih mencirikan layanan publik di Indonesia. 

    Selamat membaca

       

     

     

  • Veritas et Justitia
    Vol. 5 No. 1 (2019)

    CATATAN REDAKSI

    Jurnal Veritas et Justitia edisi Juni 2019 kembali hadir kehadapan pembaca dengan menawarkan sejumlah tulisan ilmiah dengan ragam topik.  Keluasan dan keragaman topik tulisan dalam edisi ini tidak mungkin dicegah mengingat  minat para peneliti/penulis hukum Indonesia yang juga begitu beragam.  Namun di balik keberagaman tersebut dapat ditarik satu benang merah.  Setiap penulis mengangkat persoalan kontemporer hukum di berbagai bidang kajian, baik pada tataran teoretikal abstrak maupun yang konkrit sekalipun tidak begitu popular dan diam-diam atau eksplisit memaksa kita memikirkan kembali tujuan hukum.

    Satu penulis menggagas dikembalikannya peran dan fungsi TAP MPR tentang GBHN yang dahulu diberlakukan Orde Baru.  Terlepas dari persetujuan atau justru ketidaksetujuan pembaca, gagasan utama yang muncul adalah justru sekarang ini (dengan memperhatikan dampak teknologi informasi dan perkembangan zaman) Indonesia perlu memiliki arahan kebijakan jangka panjang yang perumusannya tidak tergantung pada dinamika pemerintahan dan politik.  Terkait dengan itu adalah tulisan yang menelaah problematika tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang sebaliknya justru sangat dipengaruhi oleh perubahan tata negara dan tata pemerintahan.  Sejalan dengan ide perlunya kepastian tentang panduan adalah diskusi tentang peran penting Pancasila sebagai ideologi justru di tengah keraguan akan kebenaran dan kemanfaatan narasi-narasi besar.

    Persoalan lain berkaitan dengan pengembangan sistem peradilan (sederhana, cepat, biaya ringan) yang mumpuni di Indonesia.  Satu penulis mengaitkan peningkatan efisiensi sistem peradilan Indonesia dengan gagasan perlu dan pentingnya pendampingan pengacara tidak saja dalam perkara pidana namun justru dalam perkara-perkara perdata. Pembaharuan hukum juga menjadi tema satu tulisan yang mengaitkan perkembangan teknologi kecerdasan buatan dengan otomatisasi layanan hukum.  Kritikan yang diajukan dengan meminjam teori hukum progresif adalah seberapa jauh tujuan hukum  untuk manusia akan tetap terjamin bila otomatisasi pemberian jasa hukum nyata diwujudkan .

    Tujuan hukum dalam konteks fungsi sosial (ekonomi) – bukan sekadar tujuan tradisional hukum - menjadi perhatian tulisan-tulisan lain yang menelisik persoalan dalam hukum perlindungan konsumen, peer to peer lending, subsidi perikanan dan pengawasan kepemilikan senjata api dan bahan peledak.  Keterlindanan persoalan hukum dengan kepentingan ekonomi-politik juga tampak nyata dalam satu tulisan lain yang mempertanyakan (di tataran internasional) keabsahan klaim RRC atas laut Cina Selatan.   Di balik tulisan-tulisan itu tersembunyi pertanyaan tentang validitas tujuan hukum klasik (kepastian-keadilan dan mungkin kemanfaatan). Apakah tidak mungkin dan menjadi lebih penting menjamin pencapaian tujuan ekonomi (efisiensi) ketika peraturan perundang-undangan dibuat dan diimplementasikan?

    Selamat membaca

       

     

     

  • Veritas et Justitia
    Vol. 4 No. 2 (2018)

    CATATAN REDAKSI

    Persoalan-persoalan hukum di Indonesia begitu kompleks dan beragam.   Sebagian besar terkait dengan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Sebagian lagi terkait erat dengan situasi politik dan kemasyarakatan yang terus berubah. Tentu tidak semua bisa diselesaikan dengan pendekatan yuridis normatif atau dogmatis.  Sebaliknya tidak boleh diabaikan dan harus dicermati adalah sumbangan pemikiran para pakar (pengajar maupun praktisi) yang mampu mengulas dengan tajam persoalan-persoalan normatif yang terkandung di dalamnya. Dalam rangka itulah, Jurnal Ilmu Hukum, Veritas et Justitiayang dikelola oleh Fakultas Hukum UNPAR, selama ini dikembangkan sebagai forum terbuka untuk bertukar gagasan dan pemikiran tentang persoalan dan bila ada solusi tentang ragam persoalan hukum di Indonesia.  

    Edisi akhir tahun (Desember 2018), Jurnal Hukum, Veritas et Justitia, diawali dengan tulisan dari dua guru besar ilmu hukum. Satu Guru Besar berasal dari Universitas Padjadjaran, Bandung dan satu Guru Besar berasal dari Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.  Satu tulisan, dari guru besar bidang hukum pertanahan, membahas persoalan alih fungsi dan alih kepemilikan tanah di kawasan hutan. Persoalan kontroversial bagi pemerhati lingkungan hidup dan hukum agraria di Indonesia.  Tulisan selanjutnya dari guru besar hukum perikatan dan perlindungan konsumen, dengan menggunakan metoda perbandingan, menelaah perkembangan pemikiran tentang strict liability, khususnya dalam hukum perlindungan konsumen. Pertanyaan utamanya adalah bagaimana konsep strict liability– diambil alih dari sistem hukum asing – dapat berkembang dalam sistem hukum Indonesia?  

    Rangkaian tulisan lainnya, sumbangan dari sejumlah dosen dari berbagai universitas dan beberapa praktisi hukum, merupakan bunga rampai dari topik dan pendekatan berbeda-beda.  Satu tulisan dengan pendekatan filsafat hukum menelaah kembali makna Pancasila dan UUD 1945 bagi pemikiran ekonomi Indonesia. Tulisan lain, di bidang hukum perikatan, menelaah perkaitan persaingan bebas dengan kebebasan berkontrak. Ini dilanjutkan dengan kajian dalam bidang hukum pajak yang dikaitkan dengan perkembangan e-commerce.  Masih dekat dengan kajian hukum perdata adalah ulasan tentang fair usedari hak cipta orang lain oleh dosen dan peneliti. Satu persoalan sangat relevan bagi dunia akademik dan juga bagi para pengelola jurnal ilmiah hukum.  Dua tulisan lain, dalam bidang hukum pidana dan kriminologi, menelaah soal labellingterhadap narapidana dan kekerasan psikis yang dilakukan ibu terhadap anak dalam konteks rumah tangga. Satu tulisan mengangkat persoalan perlindungan cagar budaya dalam kaitan dengan penjagaan identitas bangsa Indonesia.  Tulisan terakhir menyoal prinsip independensi dalam pelaksanaan seleksi calon hakim.  

    Satu benang merah yang bisa ditarik dari keberagaman topik di atas adalah semangat dan ikhtiar para penulis untuk mencoba menggunakan pendekatan yang sebenarnya tidak melulu yuridis normatif atau dogmatis.  Persoalan hukum di Indonesia terjalin erat dengan politik hukum serta situasi konkrit masyarakat dan sebab itu tidak mungkin mengabaikan pengaruh faktor-faktor tersebut.

    Selamat membaca

       

     

     

  • Veritas et Justitia
    Vol. 4 No. 1 (2018)

    Catatan Redaksi

    Edisi Veritas et Justitia Volume 4 No. 1 (Juni 2018) kami hadirkan kembali ke hadapan pembaca. Edisi kali ini merupakan kolase tulisan-tulisan ilmiah bidang hukum.  Satu tulisan mengangkat persoalan yang penting bagi setiap pengemban hukum di Indonesia: metodologi ilmu hukum.   Persoalan ini terkait dengan pertanyaan epistemologis dari ilmu hukum. Bagaimana kita semua mempertanggungjawabkan kerja dan hasil penelitian secara ilmiah (di bidang hukum) dan apa sebenarnya sumbangan penelitian hukum pada pengembangan dan pembaharuan hukum di Indonesia? Pertanyaan ini pernah beberapa kali diperdebatkan oleh pakar-pakar hukum Indonesia dan ditengarai ada dua kubu utama. Satu kubu bersikukuh mempertahankan metodologi yuridis normatif atau dogmatis dan kubu lainnya mendaku perlu dan pentingnya pendekatan yang lebih lentur serta membuka ruang bagi pendekatan-pendekatan dari ilmu-ilmu lain. Perdebatan ini masih terus berlangsung dan secara praktis dihadapi oleh para peneliti hukum di Indonesia. Termasuk ke dalamnya mahasiswa strata sarjana maupun pascasarjana yang setiap kali harus mengisi kolom pilihan metoda penelitian yang digunakan untuk skripsi, tesis atau disertasi.  

    Penulis lain menyumbangkan tulisan tentang persoalan pengungsi di Indonesia.  Dicermati bahwa ruang lingkup definisi pengungsi sebagaimana diberikan Konvensi Pengungsi 1951 maupun Protokol 1967 tidak lagi memadai untuk menjawab persoalan migrasi internasional yang terjadi bukan lagi sebatas adanya well-founded fear of being persecuted or discriminated.  Arus pengungsi internasional yang menjadi beban dan tanggung jawab masyarakat internasional sekarang ini terjadi karena berbagai sebab dan pada akhirnya perlu adanya tanggapan masyarakat dan hukum internasional yang lebih tepat sasaran. 

    Terkait dengan cara berbeda pada persoalan di atas adalah tulisan tentang perlindungan hukum terhadap kelompok agama minoritas di Indonesia. Kelompok agama minoritas kerap mengalami “persecution” dan/atau perlakuan diskriminatif.  Padahal UUD 1945 tegas menyatakan negara akan melindungi kebebasan beragama dari setiap warga.  Bagaimana ketentuan ini ditafsirkan dalam ragam aturan lebih rendah dan dipraktikan agen-agen negara dan masyarakat, termasuk pengaruhnya pada aturan-aturan lain yang diterbitkan pemerintah untuk mengatur tata tertib pendirian rumah ibadah menjadi persoalan penting di sini.

    Satu cara untuk melindungi dan menghormati hak asasi (khususnya anak dan dewasa selaku pelaku maupun korban tindak pidana) adalah dengan mengadopsi pendekatan keadilan restoratif ke dalam sistem peradilan pidana Indonesia.  Satu tulisan mengamati bahwa UU Peradilan Anak sudah menggunakan pendekatan ini, namun sebaliknya Hukum Acara Pidana masih bersandarkan pada pendekatan keadilan retributif.  Padahal satu temuan menarik adalah pendekatan restorative justice sudah lama dikenal dalam hukum adat Indonesia. Apakah tidak juga lebih baik mengadopsi pendekatan restorative justice ke dalam sistem peradilan pidana Indonesia secara keseluruhan adalah pertanyaan utama yang hendak dijawab penulis.

    Persoalan bagaimana mewujudkan keadilan diangkat pula oleh tulisan-tulisan lain, berturut-turut tentang keadilan lingkungan di bidang perlindungan lingkungan dan hutan, keadilan sosial ketika berhadapan dengan perolehan tanah berdasarkan kebijakan reforma agraria di kawasan hutan, keadilan ekonomi ketika berhadapan dengan perlindungan terhadap indikasi geografis, dan keadilan distributif dalam kaitan dengan pemenuhan hak atas kesehatan dan terakhir keadilan korektif berkaitan dengan PerMa (2/2015) yang membuka peluang mengajukan gugatan sederhana.

    Beberapa tulisan lain mengambil tema berbeda sekalipun juga masih menyentuh aspek perlindungan hak asasi manusia dan keadilan yang harus dimunculkan hukum.  Satu tulisan secara khusus mengangkat tema privacy rights di era digital. Ditengarai Indonesia belum merespons kebutuhan akan perlindungan atas privacy rights secara memadai.  Sumbangan tulisan lain menyoal peluang dan kendala pemberian agunan tanpa jaminan dari sudut pandang hukum jaminan Indonesia.

    Selamat membaca

  • Veritas et Justitia
    Vol. 3 No. 2 (2017)

    Catatan Redaksi

    Edisi terbaru, Veritas et Justitia, jurnal ilmiah hukum dari Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, berhasil kami hadirkan kembali ke hadapan pembaca. Kolase tulisan yang dihadirkan mencakup ragam persoalan di bidang hukum tata negara, hukum pidana dan hak asasi manusia, hukum Islam, hukum laut internasional, hukum tata ruang dan hukum pajak. Beberapa persoalan baru dihadirkan dan dibincangkan di sini, misalnya tentang constitutional complaint, korporasi sebagai pelaku tindak pidana maupun revenge porn.

    Ketiganya adalah konsep (pranata, subyek hukum dan bentuk kejahatan) yang tidak atau belum tersedia dalam khasanah dunia hukum Indonesia.  Apakah pranata-pranata hukum di atas perlu dihadirkan ke dalam sistem hukum Indonesia sekaligus menjadi persoalan tentang seberapa jauh transplantasi dan adaptasi pranata hukum asing ke dalam sistem hukum Indonesia harus ditenggang, ditolak atau justru didorong.  Tentu itu seharusnya dijelaskan dengan ragam alasan maupun kepentingan.

    Sedikit berbeda adalah persoalan bagaimana kita harus menyikapi hubungan antara sistem hukum nasional dengan hukum Islam yang dalam lintasan waktu – sebagaimana dijelaskan satu tulisan – terus mengalami pasang surut.   Hubungan yang lagipula tidak selamanya harmonis sebagaimana ditunjukkan penafsiran dalam praktik terhadap luas lingkup ketentuan Pasal 156a KUHP (penodaan agama).  Seberapa jauh dan bagaimana negara melalui penegakan hukum pidana harus membela kepentingan agama/keyakinan yang dianut kelompok dominan atau mayoritas?  Apakah kehadiran kelompok agama minoritas sudah dengan sendirinya dapat dan boleh dimaknai sebagai penodaan agama?

    Lepas dari itu, persoalan-persoalan yang diangkat menunjukkan pula bahwa sistem hukum Indonesia tidak beroperasi dalam suatu vakum dan hanya boleh peduli pada jiwa bangsa  sendiri ataupun kepentingan nasional bagaimanapun itu ditafsirkan.  Pengaruh tekanan perubahan dari dalam maupun luar setiap kali perlu ditanggapi dan memunculkan tantangan dan peluang baru bagi pengembangan hukum nasional.

    Keberagaman masalah yang dihadirkan dalam edisi Veritas et Justitia edisi ini mencerminkan pula keragaman pemberitaan tentang persoalan-persoalan hukum yang dihadirkan media sosial ataupun mass media (elektronik-non elektronik) ke hadapan masyarakat.  Ragam persoalan hukum (lokal, nasional bahkan internasional) dibincangkan tidak saja oleh kelompok elit (akademisi-mahasiswa hukum ataupun pakar-pakar hukum) di ruang kelas atau dalam acara-acara ilmiah namun justru oleh orang-orang awam dan itu pun sayangnya lebih sebagai hiburan pengisi acara televisi.  

    Pada satu pihak, pakar-pakar hukum, termasuk mahasiswa, wajib menyadari bahwa mereka tidak lagi memonopoli pengetahuan hukum.  Semua orang sekarang ini kerap seketika dapat dan bebas berbicara tentang persoalan-persoalan hukum (kecil dan besar) dan solusinya sekaligus.  Namun, pada lain pihak, perlu juga disadari bahwa banalitas pengetahuan hukum mengandung risiko menyebarnya kerancuan berpikir tentang hukum. Maka di sinilah muncul kembali peran dari tulisan-tulisan ilmiah tentang hukum: mengingatkan para pembaca bahwa persoalan hukum layak dipikirkan dan ditelaah lebih serius daripada sebagai tayangan hiburan atau berita populer di koran atau mass media

    Selamat membaca

       

     

     

  • Veritas et Justitia
    Vol. 3 No. 1 (2017)

    Catatan Redaksi

    Menulis karya ilmiah di bidang hukum terutama dalam hukum Indonesia selalu menjadi tantangan luar biasa, terutama bagi para mahasiswa yang selalu terpaksa menulis skripsi, tesis atau disertasi.  Namun selalu ada sejumlah kecil pemerhati hukum yang berani meluangkan waktu dan pikiran secara sukarela untuk mencari topik, merumuskan masalah, pencarian dan penelusuran pustaka dan sumber hukum (yang tidak selamanya tersedia dengan mudah), serta menuliskan buah pikiran mereka menurut gaya selingkung yang diminta.  Langkah berikut adalah memberanikan diri mengirimkannya pada jurnal ilmiah dan berharap cemas. Tidak semua penulis siap menerima dengan legawa kritikan mitra bestari.  Namun untuk mereka yang bertahan dan naskahnya diterima, adalah satu kebanggaan melihat buah pikiran tercetak dan tersaji untuk dibaca-dikritik masyarakat luas pemerhati hukum.  Lagipula – tidak cukup dikatakan sekali - setiap tulisan pada akhirnya adalah undangan terbuka bagi pembaca yang merasa tertantang – bisa memberikan opini yang lebih mumpuni atau menulis lebih baik – untuk menempuh langkah-langkah panjang dan sepi di atas.

    Edisi kali ini menyajikan bunga rampai tulisan-tulisan ilmiah hukum dari ragam bidang kajian khusus (pidana, perdata, hukum administrasi/tata negara dan hukum publik internasional) yang menyentuh berbagai topik baik yang sedang ramai dibincangkan maupun teknis dan sebab itu luput dari perhatian publik.  Satu catatan penting berkaitan dengan gejala yang muncul beberapa bulan terakhir dalam Pilkada di DKI Jakarta. Media elektronik penuh dengan ujaran-ujaran kebencian.  Bagaimana hukum Indonesia harus menyikapi fenomena ini?  Apakah masyarakat Indonesia yang bagaimanapun juga dicirikan keberagaman siap menghadapi ledakan kebencian satu kelompok terhadap kelompok lain sekadar karena perbedaan suku-ras-agama?  Satu tulisan menelaah kejahatan kebencian (hate crimes) dari sudut pandang perbandingan hukum.  Persoalan lain yang tidak kalah pentingnya adalah pornografi anak dan media internet. Semua sepakat bahwa anak adalah generasi penerus bangsa dan sebab itu patut dilindungi oleh hukum.  Media internet dengan mudah lolos dari jangkauan pemantauan Negara dan hukum. Dapat dipahami mengapa kemudian internet menjadi sarana melakukan kejahatan termasuk pornografi.  Upaya penindakan melalui hukum pidana nasional bagaimanapun juga mesti dilakukan.

    Beberapa tulisan lain menyorot persoalan penyelesaian sengketa keperdataan di tingkat nasional dan internasional. Kemampuan Negara untuk mengelola konflik (perdata dan ekonomi) terkait erat dengan penjagaan kelancaran transaksi-transaksi ekonomi nasional-internasional. Prinsip penting yang perlu diusung adalah penyelesaian sengketa secara damai.  Maka itu hukum nasional-internasional menyediakan pelbagai sarana penyelesaian sengketa yang pada prinsipnya berbasis kesukarelaan dan itikad baik.

    Kelompok tulisan lain (dalam bidang kajian hukum tata Negara-administrasi) menyoal pemahaman sejarah tentang Pancasila sebagaimana diperdebatkan dalam BPUPKI. Seberapa pentingkah Pancasila ini bagi Negara Hukum Indonesia?  Pertanyaan sama kiranya terus diajukan oleh ragam anasir masyarakat dan masih diperdebatkan sampai saat ini.  Terakhir adalah tulisan yang menyoroti peran penting perjanjian internasional bagi sistem hukum Indonesia.  Selama ini pustaka hukum internasional di Indonesia masih didominasi perdebatan dikotomi monisme-dualisme.  Tulisan terakhir ini melampaui perdebatan tersebut dan menelaah banyak hal yang lebih penting dan sebaiknya menjadi fokus perhatian.

    Selamat membaca

       

     

     

  • Veritas et Justitia
    Vol. 2 No. 2 (2016)

    Catatan Redaksi

    Satu persoalan besar yang tidak akan pernah mendapat jawaban pasti berkenaan dengan pertanyaan untuk apa sebenarnya hukum dibuat.  Hal ini ada dibalik persoalan-persoalan hukum yang diangkat dalam antologi artikel-artikel yang termuat dalam edisi Veritas et Justitia ini. Secara umum dan pada tingkat abstrak, setidaknya dalam banyak tulisan hukum, selalu dirujuk tiga tujuan hukum: kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan sosial.  Kemungkinan besar, ajaran ini berasal dari tulisan Gustaaf Radbruch, sekalipun sekarang ini tidak satupun tulisan-tulisan yang ada merujuk pada tulisan yang bersangkutan.  Seringkali pula ketiga tujuan hukum itu dalam praktiknya saling dibenturkan satu sama lain. 

    Namun tidak atau jarang disebut bahwa tujuan hukum juga bisa sekadar simbol (penanda) dari kepedulian dan itikad baik negara terhadap suatu fenomena khusus, misalnya perlindungan perempuan dan anak, kelestarian lingkungan hidup atau kebakaran hutan. Seberapa jauh pesan akan adanya itikad baik yang hendak disampaikan, melalui peraturan perundang-undangan, berhasil dipahami masyarakat kerap tergantung banyak faktor lain.  Misalnya bagaimana pesan itu dibungkus dan dituliskan secara konsisten dan koheren dalam ketentuan-ketentuan yang dimaktubkan dalam peraturan perundang-undangan. Serta selanjutnya bagaimana penegak hukum dan pencari keadilan membaca dan memaknainya.  Tidak boleh dilupakan adalah apakah betul pesan yang hendak disampaikan – selalu merupakan kompromi politik – berhasil mempertahankan kesungguhan dan kepedulian nyata, artinya bukan sekadar kepedulian simbolik.

    Pada akhirnya tugas utama pengemban hukum dari kalangan akademis (atau teoretisi) – dan sebagai besar penyumbang tulisan dalam edisi ini adalah teoretisi - adalah membaca kembali peraturan perundang-undangan sebagai sumber hukum tertulis dengan kritis dan mencoba memaknakannya kembali dalam bingkai-bingkai kepentingan dan/atau kebutuhan pencari keadilan yang bersifat konkrit (saat ini dan di sini: hic et nunc).  Ketika membaca itu pula, maka teoritisi (seharusnya berani) menggagas cara atau metoda baru dan menerobos kebuntuan pemikiran hukum yang ada. 

    Ikthiar menyelaraskan (secara horizontal-vertikal atau dengan acuan prinsip-prinsip hukum) dari begitu banyak ketentuan hukum yang ditemukan dalam ragam sumber hukum yang terserak dan terus menerus dibuat adalah tujuan lain dari pengembanan ilmu hukum, sekalipun bukan tujuan hukum itu sendiri.   Cara atau metoda yang diusulkan sedianya mempermudah pembaca dan pemerhati hukum untuk mengetahui apa yang seharusnya menjadi hukum ketika kita dihadapkan pada persoalan-persoalan hukum yang nyata dan tidak sekadar ilusif.

    Antologi yang termuat dalam terbitan Veritas et Justitia kali ini terbagi ke dalam empat kelompok besar.  Satu kumpulan menyoal persoalan-persoalan di bidang hukum pidana, materiil-prosesuil, bahkan tentang sistem peradilan pidana, serta kriminologis. Bagian kedua merupakan tulisan-tulisan yang menelaah persoalan di bidang hukum keperdataan baik di bidang perikatan maupun yang lebih kompleks seperti hukum kebendaan (hak cipta di dunia maya).   Bagian ketiga berkaitan dengan access to justice. Sedang kumpulan terakhir berkaitan dengan persoalan penataan ruang, lingkungan hidup, serta tanggung jawab hukum internasional negara berkembang. Satu benang merah yang dapat ditarik dan menjadi tajuk editorial kali ini adalah tentang tujuan hukum dan seberapa jauh tujuan hukum tersebut dipengaruhi, berubah dan menyimpang karena pengaruh praktik (kebutuhan nyata) atau kepentingan-kepentingan politik yang lebih besar.

    Selamat membaca

       

     

     

  • Veritas et Justitia
    Vol. 2 No. 1 (2016)

    Catatan Redaksi

    Tema besar dan perennial dari persoalan pengembangan hukum juga di Indonesia adalah tentang tujuan dari hukum.  Untuk tujuan apakah hukum yang harus dimaknai lebih dari sekadar peraturan tertulis buatan negara dibuat dan lebih lagi dipatuhi?  Budiono Kusumohamidjojo menempatkan perdebatan tentang tujuan hukum dalam tegangan antara pencapaian ketertiban yang adil dengan ketidakadilan.  Perlu dicamkan bahwa di sini tidak dipersoalkan pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan.  Menurut Budiono bukan itu soalnya.  Kepastian hukum bukanlah tujuan dalam dirinya sendiri. Apa yang lebih penting adalah penciptaan ketertiban melalui pendayagunaan hukum.  Masyarakat di manapun juga sudah pasti memerlukan ketertiban. Tanpa adanya ketertiban yang diindikasikan, antara lain, dengan adanya peraturan yang jelas dan upaya pengimplementasian dan penegakan yang kurang lebih “predictable” tidak mungkin menyelenggarakan kehidupan bersama.  Namun apakah ketertiban   dalam masyarakat sekaligus mengindikasikan kehidupan hukum yang berkeadilan?

    Ketidakadilan bukanlah semata-mata soal perasaan. Sekalipun  bagi banyak orang lebih mudah membayangkan ketidakadilan sebagai sesuatu yang dialami dan karena itu langsung dirasakan. Maka itu kita kerap berbicara tentang keadilan atau ketidakadilan sebagai rasa.  Namun apakah ada ukuran atau parameter baku (obyektif-netral) untuk menetapkan suatu situasi konkrit dalam masyarakat sebagai tidak adil sekalipun peraturan terkait dibuat dan diterapkan demi ketertiban? Ketidakadilan jelas dapat bersumber dari peraturan yang dibuat, bahkan dilaksanakan sepenuhnya dengan segala itikad baik.  Persoalannya adalah bagaimana mungkin kita dapat menunjukkan adanya ketidakadilan dan membereskannya bila itu semua hanya dianggap soal perasaan yang kerap dianggap subyektif dan temporer.  Apa yang pasti ialah bahwa ketidakadilan yang muncul dari dan dalam peraturan maupun pelaksanaannya dapat dimunculkan sebagai fakta yang dapat dinalar dan (sudah sepatutnya) dijadikan kajian ilmu hukum.

    Beberapa sumbangan tulisan dalam Volume 2 Nomor 1 Veritas et Justitia dengan jelas menunjukkan hal ini.  Pemerintah (pusat apalagi daerah yang lebih dekat dengan masyarakat) sudah sepatutnya mewakili dan memperjuangkan kepentingan umum baik dalam pembuatan peraturan maupun ketika harus mengimplementasikannya ke dalam tindakan nyata. Ketidakadilan yang muncul dalam peraturan maupun implementasi peraturan inilah yang disasar oleh dua penulis.  Satu bercerita tentang peran Pemda Kota Padang dalam melindungi anak yang tereksploitasi secara ekonomi, sedangkan lainnya mengisahkan ketidakadilan yang mungkin tersembunyi di balik kehendak membatasi hak tenaga kerja di tempat kerja yang sama untuk menikah. 

    Sebagaimana ditunjukkan oleh tulisan-tulisan lainnya, di samping itu ketidakadilan (yang dapat bersifat sangat personal atau justru structural-sistematis) juga kerapkali dan terutama dirasakan di lapangan kegiatan ekonomi.  Upaya mengatur (menertibkan kehidupan) kegiatan ekonomi secara umum (di bidang hukum perikatan) atau di dalam bidang-bidang khusus dan teknis seperti perbankan, jasa keuangan bahkan kepemilikan hak cipta, akan seketika bersentuhan dengan pertanyaan apakah sekaligus itu berkeadilan?  Kelompok manakah yang akan diuntungkan atau sebaliknya dipinggirkan dalam keseluruhan ikhtiar menata kehidupan ekonomi?  Banyak yang meyakini bahwa penertiban kehidupan ekonomi harus dilakukan dengan memungkinkan persaingan (yang sebenarnya tidak terlalu bebas) antar pelaku ekonomi.  Terpikirkan di sini mekanisme perizinan dan regulasi ekonomi yang kerap pula bersifat imperatif.  Bagaimanakah hukum yang sekarang ini cenderung bersifat transnasional dapat memunculkan ketertiban yang berkeadilan dalam kegiatan perekonomian negara di tingkat lokal maupun regional?  Pertanyaan-pertanyaan besar seperti inilah yang ditelaah penulis-penulis lainnya dalam edisi ini. 

    Rangkaian tulisan dalam edisi Veritas et Justitia yang disajikan editor ke hadapan pembaca memang dimaksudkan untuk membangkitkan pertanyaan lebih lanjut yang memaksa kita terus berpikir bagaimana membangun hukum sebagai satu sarana untuk mencapai ketertiban yang berkeadilan.

    Selamat membaca

       

     

     

  • Veritas et Justitia
    Vol. 1 No. 2 (2015)

    Catatan Redaksi

    Edisi kedua jurnal hukum, Veritas et Justitia  berhasil diterbitkan.  Kepada pembaca disajikan tulisan-tulisan dengan ragam tema dan topik.  Sekalipun begitu di dalamnya dapat kita temukan jalinan benang merah. Kesemuanya berbicara tentang berfungsinya hukum dalam masyarakat Indonesia serta kemampuan hukum menjawab tantangan kebutuhan manusia dan masyarakat yang terus berubah.

    Dapat dicermati, hukum seringkali, juga oleh mahasiswa hukum, dipandang sebagai seperangkat peraturan (tertulis) yang dapat – tidak harus - digunakan penguasa untuk mengubah masyarakat. Hukum dengan demikian acap dipandang tidak terpisahkan dari kebijakan bahkan program atau proyek-proyek pembangunan.  Lebih dari itu, penguasa: sebagai sumber kebijakan dan pemberi perintah, serta hukum disebut dalam satu nafas.  Hanya hukum buatan Negara yang layak disebut hukum dan hukum adalah perangkat yang sejatinya dipergunakan pemerintah untuk membangun masyarakat.  

    Beberapa tulisan dalam edisi kedua Veritas et Justitia beranjak dari pemahaman ini tentang hukum,  perencanaan pembangunan, pertumbuhan ekonomi, dan penataan ruang, ditelaah dalam kaitannya dengan peraturan perundang-undangan. 

    Sebaliknya perkembangan dalam praktik dan dinamika perkembangan masyarakat kerapkali justru mendorong berkembangnya peraturan perundang-undangan atau setidak-tidaknya pemikiran hukum.  Pada skala mikro muncul kebutuhan meletakan sita jaminan atas hak kebendaan tidak berwujud semisal hak kekayaan intelektual, menegaskan kedudukan legitime portie yang semula berkembang dalam sistem hukum waris barat  di dalam sistem hukum Islam atau pada skala makro menyoal kedudukan hukum ekonomi syariah dalam pembangunan ekonomi nasional.

    Pada lain pihak, masyarakat yang menjadi target ikhtiar pemerintah, mereka yang disasar oleh peraturan agar perilakunya berubah, bukanlah obyek yang tidak memiliki kehendak dan keinginan sendiri.  Dari sudut pandang hukum kita harus berbicara tentang peran serta dari masyarakat secara umum atau peran serta lembaga yang mewakili kepentingan segolongan masyarakat.  Adanya aturan hukum tidak otomatis mengindikasikan adanya penaatan sesuai harapan pemerintah.

    Di samping itu, pemberlakuan peraturan oleh pemerintah atau pembuatan rancangan peraturan perundang-undangan akan langsung berhadapan dengan budaya hukum: sikap, tindak, habitus dari masyarakat yang terbentuk ajeg.  Efektivitas dari pemberlakuan bahkan diterimanya peraturan perundang-undangan akan sedikit banyak tergantung pada budaya hukum masyarakat yang sudah terbentuk.  Namun dalam khasanah ilmu hukum Indonesia, budaya hukum seringkali dimaknai secara berbeda: bukan sesuatu yang faktual ada, namun sebagai suatu idea yang masih harus dibangun dan diciptakan.  Dalam konteks itulah tulisan pertama membahas perlu dan pentingnya membangun budaya hukum Pancasila. 

    Tulisan lainnya yang disajikan di sini mengungkap pula sejumlah persoalan yang tidak dapat sepenuhnya ditelaah dari sudut pandang pendekatan yuridis normatif belaka.  Hukum bagaimanapun juga adalah fenomena sosial yang multidimensional.  Maka itu di dalam tulisan terakhir disajikan kepada pembaca ulasan falsafati perihal naturalisme (hukum kodrat).

    Kendati begitu rangkaian tulisan di dalam edisi kedua dapat dibaca terpisah atau sebagai satu rangkaian yang berkesinambungan. Apa yang hendak dicapai pada akhirnya adalah mengundang pembaca untuk berpikir, merenungkan persoalan-persoalan hukum Indonesia dan bila tergerak mengangkat pena dan mulai menulis. 

    Selamat membaca

       

     

     

  • Veritas et Justitia
    Vol. 1 No. 1 (2015)

    Catatan Redaksi

    Fakultas Hukum UNPAR telah kehilangan jurnal Pro Justitia.  Jurnal Fakultas Hukum UNPAR Pro Justitia berhenti terbit 4 (empat) tahun yang lalu. Dalam kekosongan itu muncul kembali ikhtiar di Fakultas Hukum UNPAR untuk menghidupkan kembali wadah-sarana-forum diskusi ilmiah yang ditujukan bagi pengembagan pemikiran di bidang ilmu hukum.  Dengan alasan itu, bukan sekadar melanjutkan, namun mulai baru, diterbitkan Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum UNPAR dengan nama berbeda: Veritas et Justitia (kebenaran dan keadilan). Tujuannya tidak sekedar mememuhi  “kewajiban” hukum atau memenuhi salah satu persyaratan akreditasi.  Sebagaimana dengan tepat diingatkan salah satu contributor dalam edisi terbitan baru ini, jurnal ini yang mengusung judul Veritas et Justita dimaksudkan sebagai forum bagi pakar hukum untuk berdebat, mencari dan menemukan, apa yang seyogianya menjadi hukum dan kebenaran.    

    Penekanannya adalah pada ikhtiar berdebat, mencari dan menemukan. Upaya yang kiranya tidak pernah berkesudahan.  Bukan pada upaya mengumandangkan kebenaran absolute yang bagi orang beriman hanya milik Tuhan Yang Maha Kuasa.  Tulisan manusia, buah pikir dari rasio manusia yang serba terbatas, terikat ruang-waktu, tidak pernah, mungkin dan perlu sempurna serta merupakan kata akhir.  Maka tulisan-tulisan yang sudah dan akan dimuat tidak perlu dibaca sebagai kata akhir,  namun lebih sebagai catatan perjalanan dan undangan terbuka bagi khalayak ramai untuk membaca, memberi catatan kritis dan menulis lebih bijak.  Dengan cara itu, jurnal ini menyediakan diri sebagai kanvas bagi setiap orang yang peduli pada pengembangan ilmu hukum untuk mengisahkan pemikirannya dengan kesadaran penuh dan bertanggungjawab bahwa setiap cerita tidak mungkin membingkai kebenaran.

    Perlu pula disebut bahwa tulisan-tulisan dengan ragam topik yang dimuat datang dari pelbagai penjuru Indonesia.  Keberagaman sudut pandang dari banyak penulis yang dimuat dalam edisi perdana ini mengindikasikan pula keniscayaan mengungkap ragam kisah – sekali lagi bukan sebagai pengumuman tentang apa yang benar (dengan b besar) – namun sebagai undangan untuk mencermati, menikmati, dan bila terusik menulis cerita dari sudut pandang yang berbeda. Semua itu agar pemikiran tentang ilmu hukum, khususnya di Indonesia, dapat terus berkembang.

    Selamat membaca